Penumpang Kapal Laut yang Hendak Balik ke NTT Terimbas Beda Perlakuan
Ribuan mahasiswa dan warga NTT di perantauan terimbas kebijakan pemerintah provinsi yang melarang masuk kapal laut berpenumpang ke NTT sejak 6 April 2020. Namun, pesawat diperbolehkan.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·6 menit baca
Markus Kari (22), mahasiswa semester akhir salah satu perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan, kecewa berat. Mahasiswa asal Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, ini bersama ratusan mahasiswa dan warga NTT lain, seiring kebijakan pemerintah provinsi, dilarang masuk NTT dengan kapal laut sejak Senin, 6 April 2020. Namun, mereka diizinkan jika menggunakan pesawat.
Saat dihubungi di Makassar, Minggu (19/4/2020), Markus Kari mengungkapkan, pernyataan sikap yang disampaikan Aliansi Mahasiswa NTT (Almasi) di Makassar sejak 7 April belum ditanggapi pemprov. Ia juga telah menghubungi langsung jubir Gugus Tugas Covid-19, tetapi jubir meminta Almasi menyurati langsung gubernur. Surat itu sudah dikirim secara online melalui Humas Setda NTT.
”Kami dijanjikan sore ini mendengar jawaban pemprov. Permintaan kami, cuma diizinkan pulang ke kampung asal di NTT. Kalau kami bisa dikarantina pemprov atau kabupaten/kota setempat, mengapa harus menolak kami datang ke NTT. Kami lahir dan besar di sana, punya KTP NTT, orangtua dan anggota keluarga kami asli dan berdiam di NTT,” kata Markus.
Saya minta orangtua kirim uang untuk beli tiket pesawat. Mereka hanya menjawab, uang tidak ada. (Markus Kari)
Dalam masa pandemi Covid-19 ini, sekitar 1.000 mahasiswa NTT, belum termasuk warga NTT lain di Makassar, tidak bisa ke mana-mana. Mereka di dalam kamar kos. Saat ini, Makassar sudah memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Mereka sangat bergantung kiriman uang orangtua. Sementara orangtua Markus, misalnya, seorang nelayan kecil yang sedang kesulitan mendapatkan uang. Hasil tangkapan ikan tidak laku dijual karena pembeli terbatas, tidak seperti biasanya.
Warga Alor ini menegaskan, kondisi mahasiswa di tengah pandemi Covid-19 sangat memprihatinkan dibandingkan warga NTT yang sudah bekerja atau karyawan meski juga sedang di rumah. Uang untuk membeli masker saja sulit, apalagi belanja harian dan bayar sewa kamar bulanan.
Ia mengatakan, sekitar 300 mahasiswa yang tergabung dalam Almasi telah membeli tiket KM Lambelu pada pekan lalu untuk pulang kampung. Namun, mendadak tiket mereka dikembalikan pihak agen tiket Pelni Makassar karena Pemprov NTT melarang kapal Pelni masuk NTT.
Pemprov NTT melalui Dinas Perhubungan hanya mengizinkan kapal membawa logistik, bukan penumpang. Namun, pesawat membawa penumpang diizinkan masuk-keluar NTT.
Kebijakan penutupan akses bagi kapal penumpang masuk NTT diawali kasus sejumlah awak kapal KM Lambelu yang berdasarkan tes cepat ternyata positif Covid-19, Selasa (7/4/2020). Saat itu, mereka dilarang berlabuh di Dermaga Maumere atas arahan Gubernur NTT dan Dinas Kesehatan NTT.
Di Makassar, KM Lambelu juga ditahan lama jauh dari Pelabuhan Soekarno-Hatta untuk memastikan keamanan. Pemeriksaan berkala dilakukan hingga ditemukan 24 dari 92 awak kapal positif Covid-19. Mereka dievakuasi di RS Kadi, Makassar, Senin (20/4/2020)
Bagi warga NTT di perantauan, kapal laut ini andalan mereka untuk pulang kampung karena harga tiketnya terjangkau. Harga tiket berkisar Rp 100.000-Rp 200.000 per orang, pesawat lebih dari Rp 1 juta per penumpang.
”Saya minta orangtua kirim uang untuk beli tiket pesawat. Mereka hanya menjawab, uang tidak ada. Jual ikan tidak laku di tempat pelelangan dan di pasar. Pasar ikan pun sepi, tidak seramai dulu,”kata Markus.
Mohammad Ahyar, mahasiswa asal Labuan Bajo yang sedang belajar di Universitas Mataram, NTB, mengatakan, saat ini sekitar 125 mahasiswa asal Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur tertahan di Sape, Bima, NTB. Mereka tinggal di rumah penginapan dengan biaya sendiri.
”Kami 7-10 orang tinggal dalam satu kamar penginapan dengan biaya Rp 50.000 per orang per malam. Makan dan minum tangggung sendiri. Kami datang dari Mataram, Bima, dan Bali. Masing-masing kami tiba di Sape berbeda waktu, ada yang sudah tiga hari, dua hari, dan satu hari,” kata Ahyar.
Ia mengatakan, satu kelompok warga Flores berjumlah 40 orang yang sempat viral di media sosial, empat hari lalu telah pulang ke Labuan Bajo melalui Dermaga Sape. Setelah kelompok itu, warga NTT lain tidak diizinkan lagi.
Ahyar dan kawan-kawan berani pulang kampung di NTT karena mendapat informasi dari kelompok pertama berjumlah 40 orang itu bahwa dengan memperlihatkan KTP NTT di dermaga Sape, mereka bisa lolos berangkat. Informasi itu pun beredar luas di kalangan mahasiswa di NTB dan Bali.
Namun, setelah mereka tiba di Sape, pihak operator kapal rute Sape-Labuan Bajo menyebutkan hanya bisa mengangkut logistik dan tidak diperbolehkan mengangkut penumpang. Mereka sudah terlanjur di Sape dan tidak mungkin bisa pulang ke alamat semula.
”Informasi terakhir dari Pemkab Manggarai Barat, NTT, kami harus jalani rapid test di Sape dulu, dan jika dinyatakan negatif Covid-19, bisa diizinkan masuk dengan KMP Cakalang Sape-Labuan Bajo, Senin, 20 April. Tadi petugas di Pelabuhan Sape mengatakan, mereka tidak memiliki alat rapid test. Nasib kami bagaimana,” kata Ahyar.
Di sisil lain, penduduk lokal dan tim Gugus Tugas Covid-19 di sana sudah sangat ketat tentang akses luar masuk kembali. Apalagi, saat meninggalkan daerah itu, mereka telah diberi formulir kewaspadaan kesehatan oleh kantor kesehatan pelabuhan setempat.
Ia mengatakan, semua rekan yang ada di Sape bersedia dikarantina oleh pemda setempat begitu tiba di daerah asal, entah 14 hari atau 30 hari. Mereka tahu program karantina itu diprioritaskan untuk warga yang datang dari daerah terpapar Covid-19.
Jangan dipersulit
Anggota DPRD NTT, Viktor Mado Watun, mengatakan, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 NTT harus memiliki solusi, tidak sekadar membuat aturan. Ketika Pemprov mengeluarkan aturan itu, dampaknya harus diantisipasi.
”Warga NTT yang pulang dengan kapal laut itu warga miskin, tak berdaya, yang pulang dengan pesawat itu orang berduit. Masyarakat dalam keadaan susah jangan dipersulit oleh pemerintah dalam situasi ini. Terkesan ada perlakuan tidak adil dalam kebijakan ini,” kata Mado.
Mado mempertanyakan pesawat membawa penumpang dibiarkan masuk-keluar NTT, tetapi kapal laut dilarang.
Pemprov NTT telah menyiapkan tempat karantina di masing-masing daerah. Fungsi tempat karantina itu untuk menampung orang dari daerah yang terpapar Covid-19. Tempat karantina itu harus difungsikan, tidak hanya pelengkap administrasi.
Ia mengatakan, pemprov menjaga keselamatan warga di NTT, tetapi jangan mengabaikan kesehatan dan keselamatan orang NTT di tempat perantauan yang mau pulang kampung. Mereka yang di perantauan, kata Mado, sangat sulit berjuang hidup, Apalagi, mayoritas mereka itu mahasiswa.
Ia mengingatkan, Pemprov NTT jangan menciptakan masalah baru bagi warga NTT di perantauan. Setiap warga di perantauan yang hendak pulang kampung tetap harus diterima. Jika mereka mengalami masalah baru, terutama di Sape, NTB, dan Makassar, yang bertanggung jawab tetap Pemprov.
Mado mempertanyakan pesawat membawa penumpang dibiarkan masuk-keluar NTT, sedangkan kapal laut dilarang. Itu sama dengan membiarkan orang-orang mampu masuk NTT, sedangkan kelompok warga miskin NTT dilarang masuk.
”Mereka yang datang dengan pesawat pun berpeluang terpapar Covid-19 seperti EA, pasien Covid-19 pertama di NTT yang datang dari Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar dengan pesawat, 22 Maret. Mengapa harus dibedakan,” kata Mado.
Anggota Komisi IV NTT yang membidangi perhubungan, Boni Jebarus, mengatakan, Pemprov NTT harus berkoordinasi dengan Pemprov NTB, dan Pemkab Manggarai Barat dengan Pemkab Bima untuk menyelesaikan masalah ini. Penanggulangan Covid-19 ini membutuhkan kerja sama lintas pemda dan bersifat gotong royong.