Komnas HAM menilai insiden penembakan yang diduga dilakukan prajurit TNI dan menewaskan dua warga sipil di Papua sebagai tindakan ceroboh dan mencederai HAM.
Oleh
FABIO M LOPES COSTA/ EDNA C PATTISINA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua, Rabu (15/4/2020), mendesak adanya penegakan hukum atas penembakan dua warga sipil di Kabupaten Mimika, Papua. Insiden penembakan pada Senin (13/4) itu dinilai sebagai perbuatan ceroboh dan tak terukur.
”Kami berharap, apabila ada anggota (TNI) yang terbukti bersalah menembak dua warga ini, secepatnya diproses hukum di pengadilan militer di Jayapura secara transparan,” kata Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey di Jayapura, kemarin.
Dua warga sipil yang meninggal akibat tertembak pada peristiwa itu adalah Roni Wandik (23) dan Eden Armando Debari (19). Saat itu, sekitar pukul 16.00, keduanya hendak mencari ikan di dekat area kerja PT Freeport di Mile 34.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto harus mengevaluasi keberadaan satgas agar tidak sering terjadi masalah seperti di Mimika.
Satuan Tugas Penegakan Hukum (Satgas Gakkum) TNI diduga menembaki mereka karena mengira keduanya anggota kelompok kriminal separatis bersenjata yang hendak menyerang PT Freeport Indonesia di Timika, seperti kejadian pada 30 Maret 2020.
Frits menilai penembakan yang terjadi di daerah Kwanki Narama, Mimika, itu sebagai kecerobohan dan tindakan yang tak terukur. Insiden itu juga mencederai hak asasi manusia dan upaya penegakan hukum di Papua.
Selain perlu proses hukum yang transparan terhadap kasus itu, Frits juga mendesak adanya evaluasi terhadap keberadaan Satgas Gakkum TNI di Papua. Evaluasi ini makin mendesak karena pada Minggu (12/4) juga terjadi penembakan tiga polisi di Mamberamo Raya.
”Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto harus mengevaluasi keberadaan satgas agar tidak sering terjadi masalah seperti di Mimika dan daerah lain,” kata Frits. Kris Ohee, perwakilan keluarga kedua korban, menegaskan, Eden dan Roni bukan anggota kelompok kriminal separatis bersenjata.
”Kami mendapatkan informasi meninggalnya Eden dan Roni karena ditembak aparat keamanan. Padahal, keduanya sering memancing ikan di tempat itu dan bukan anggota kelompok separatis,” ungkap Kris.
Lebih lanjut Kris menjelaskan, Eden merupakan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara di Tangerang Selatan. Ia pun menyesalkan mengapa aparat tidak melalui prosedur konfirmasi terlebih dahulu sebelum melepaskan tembakan.
Bentuk tim
Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal Herman Asaribab mengatakan, pihaknya membentuk tim investigasi guna mengusut tuntas penyebab kematian kedua warga di Mile 34.
”Saya akan mengusut masalah ini dan proses hukum sementara berjalan. Kami mohon para keluarga korban percaya bahwa masalah ini akan ditindaklanjuti,” katanya.
Presiden tidak boleh mendiamkan begitu saja kejadian kekerasan yang berulang tersebut di Papua.
Hadi Tjahjanto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, kemarin, mengatakan, pihaknya masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh tim gabungan TNI-Polri di Papua.
Sementara itu, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta menyampaikan, siklus kekerasan di Papua harus diputus dan dihentikan. ”Presiden tidak boleh mendiamkan begitu saja kejadian kekerasan yang berulang tersebut di Papua,” ujar Beka.
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Amiruddin al Rahab mendesak Presiden agar mengevaluasi Operasi Pengamanan Daerah Rawan TNI yang telah berjalan lama di Papua.