Sapur, Peladang yang Dipenjara karena Membakar Lahan, Dibebaskan
Saprudin alias Sapur (61), peladang yang divonis hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp 50 juta, akhirnya bebas. Pria lanjut usia yang kesulitan melihat dan mendengar itu dibebaskan lebih dini karena pandemi Covid-19.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Saprudin alias Sapur (61), peladang yang divonis hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp 50 juta, akhirnya bebas. Pria lanjut usia yang kesulitan melihat dan mendengar itu dibebaskan lebih dini karena situasi Indonesia yang dilanda pandemi Covid-19.
Kuasa hukum Sapur, Ditta Wisnu, menjelaskan, Sapur dibebaskan lebih cepat karena mendapat keringanan melalui program asimilasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di tengah situasi wabah Covid-19.
”Kami dan keluarga bersyukur karena jaksa penuntut umum (JPU) tidak mengajukan banding sehingga kami juga tidak melakukan banding,” ujar Ditta di Palangkaraya, Minggu (12/4/2020).
Ditta menjelaskan, Sapur dibebaskan sejak Kamis (9/4/2020). Sapur sudah menjalani 14 kali persidangan dan ditahan selama 6 bulan 12 hari. Dengan vonis tujuh bulan penjara, seharusnya Sapur masih menjalani setidaknya 1 bulan 16 hari di penjara. Itu pun akan ditambah sebulan jika ia tidak membayar denda Rp 50 juta.
Sapur menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, atau sekitar 178 kilometer dari rumah Sapur di Desa Juking Panjang, Kabupaten Murung Raya. Kini, Sapur yang kesulitan mendengar dan melihat itu bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.
”Bapak (Sapur) sekarang bahagia banget, wajahnya sudah terlihat lebih segar. Ia senang bisa sama-sama dengan istri dan anak-anak, juga cucunya,” kata Ditta.
Sapur ditangkap pada 18 September 2019 pukul 15.00. Saat itu, Sapur sedang membuat pagar di sekeliling kebunnya. Ia dibantu anaknya, Bendi (23), saat membuat pagar.
Karena banyak nyamuk, ia kemudian membakar sampah kayu bekas membuat pagar atau dalam bahasa Dayak disebut merangai, sebuah kebiasaan yang lazim dilakukan oleh peladang tradisional Dayak.
Dengan sabut kelapa yang dilumuri minyak tanah, ia bakar dahan-dahan kayu. Karena membakar sampah itu Sapur kemudian ditangkap aparat polisi dari Polres Murung Raya.
Sejak itu, Sapur diperiksa dan ditahan. Dalam sidang pertama, ia disebut membakar lahan 2 hektar. Padahal, luas lahannya hanya 50 meter x 70 meter.
Semoga tahun ini dan tahun-tahun mendatang tak ada lagi kasus semacam ini.
Sapur menjadi satu-satunya orang yang ditangkap polisi dalam situasi darurat kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 di Kabupaten Murung Raya. Padahal, dari data kepolisian ada 40 kejadian kebakaran di kabupaten tersebut dengan luas 66,57 hektar.
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Murung Raya Bertho K Kondrat mengapresiasi semua pihak yang selama ini sudah mendukung Sapur untuk dibebaskan. Meskipun tetap divonis bersalah, Sapur bisa dibebaskan.
”Tak ada kata lain selain terima kasih. Mungkin kami ingin mengumpulkan semua teman-teman, tetapi karena anjuran pemerintah untuk pembatasan sosial kami tidak bisa mengabarkan ke semuanya,” kata Bertho.
Bertho berharap ke depan tak ada lagi peladang tradisional dipenjara sehingga kasus Sapur menjadi yang terakhir. Menurut dia, merangai atau membakar sampah untuk mengusir nyamuk di hutan selalu dilakukan dan merupakan bentuk kearifan lokal. ”Kita berharap yang terbaik saja ke depannya, khususnya bagi peladang tradisional,” ucapnya.
Hal serupa disampaikan Ditta yang merupakan perwakilan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP-MAN). Ia berharap kepala daerah bisa membuat regulasi yang memperhatikan keberadaan peladang tradisional agar tidak lagi tersangkut kasus seperti Sapur.
”Semoga tahun ini dan tahun-tahun mendatang tak ada lagi kasus semacam ini,” kata Ditta.