Pintu Masuk Tak Ditutup, Maluku Masih Butuh Penerbangan Komersial
Pintu masuk ke Ambon melalui laut dan udara yang masih dibuka menyisakan kekhawatiran di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah daerah beralasan, Maluku masih membutuhkan akses transportasi terutama pesawat udara.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Di tengah penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 yang semakin meluas, aliran pintu masuk ke Kota Ambon, Maluku, lewat jalur laut ataupun udara masih dibuka. Sekitar sepekan terakhir, sebanyak 6.089 orang sudah masuk ke Ambon. Kondisi ini dikhawatirkan memicu potensi penyebaran virus.
Sejak 30 Maret hingga 6 April tercatat 1.922 orang masuk Ambon menggunakan kapal Pelni, sedangkan 4.167 orang menggunakan pesawat udara.
Kepala Biro Humas dan Protokoler Provinsi Maluku Melky Lohi mengatakan, hingga Selasa (7/4/2020) belum ada penghentian akomodasi ke Maluku. Penghentian sementara akses harus melalui persetujuan Gubernur Maluku Murad Ismail. Sebagai pembanding, banyak kepala daerah, seperti Provinsi Papua, sudah menutup sementara transportasi ke daerah mereka.
Menurut Melky, untuk mencegah penyebaran virus korona di Maluku, pihaknya sebatas memperketat pemeriksaan di bandara dan pelabuhan. Pemeriksaan meliputi identitas diri dan suhu tubuh. Jika bukan warga Maluku, pelaku perjalanan akan dikarantina selama 14 hari di beberapa mess pemerintah. Jika mereka adalah warga Maluku, diminta melakukan isolasi di rumah.
Berkaca pada dua kasus positif Covid-19 di Ambon, semua yang terinfeksi merupakan pelaku perjalanan. Kasus pertama berasal dari Bekasi, Jawa Barat, dan kini telah sembuh. Kasus kedua berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, dan kini sedang dalam perawatan.
Adapun sepasang suami istri beserta satu anak mereka, yang baru datang dari Kendari, Sulawesi Tenggara, terkonfirmasi positif Covid-19 berdasarkan hasil tes cepat. Hasil pemeriksaan di Laboratorium Kementerian Kesehatan belum diumumkan.
Menurut Melky, pemerintah memahami kegelisahan warga yang melihat semakin banyak orang luar datang ke Maluku. Namun, pemerintah belum bisa menutup akses lantaran berbagai pertimbangan.
Di tengah tingginya kebutuhan daerah dalam rangka penanganan Covid-19, dia menilai, penerbangan komersial sangat dibutuhkan. Hal itu misalnya membawa sampel pasien untuk diperiksa di Jakarta dan mengangkut alat pelindung diri serta obat-obatan dari Jakarta.
Ada sukarelawan yang ditugaskan untuk melayani kebutuhan mereka yang dikarantina, mulai dari makanan hingga akses internet.
Karantina di desa
Karantina juga diinisiasi secara swadaya oleh pemerintah desa di Maluku. Beberapa di antaranya dilakukan di Desa Hitulama dan Hitu Mesing, Kabupaten Maluku Tengah. Pihak desa menyulap ruang kelas menjadi tempat karantina selama 14 hari. Ada sukarelawan yang ditugaskan untuk melayani kebutuhan mereka yang dikarantina, mulai dari makanan hingga akses internet.
Sejumlah desa lain juga sudah menyiapkan tempat untuk menyambut pemudik. ”Memang serba dilema. Tolak salah. Terima juga berisiko. Jadi harus buat karantina. Semua desa di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sudah menyiapkan itu. Polri dan TNI ikut membantu,” kata Kepala Polsek Leihitu Inspektur Satu Jafar Lessy.
Namun, di beberapa perkampungan di Kota Ambon, warga menutup akses masuk. Di kompleks Kayu Putih, misalnya, warga menolak pelaku perjalanan masuk ke kampung itu tanpa menunjukkan surat keterangan bebas Covid-19 dari dokter. Warga juga menolak apabila fasilitas umum, seperti sekolah dijadikan tempat karantina. Pasalnya, sekolah berada di tengah pemukiman padat penduduk.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas, Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Kasrul Selang berharap masyarakat tidak panik dan melaksanakan imbauan pemerintah.
”Masyarakat tidak perlu panik yang berlebihan. Kami sangat berharap partisipasi dari masyarakat untuk mencegah penularan” katanya.
Ia mencontohkan, partisipasi masyarakat seperti di Kabupaten Maluku Tengah. ”Kami mendapat informasi bahwa di Haria, Hila, Pelauw, dan Hitu, serta beberapa negeri lain, warga yang merupakan pelaku perjalanan melakukan isolasi mandiri, tetapi diisolasi oleh warga di tempat yang disediakan seperti rumah dokter. Ini bagus,” tuturnya.