Hartawan Semarang, Oei Tiong Ham, Datangkan Charlie Chaplin ke Garut
Pengusaha kaya raya asal Semarang, Oei Tiong Ham, mendatangkan komedian Amerika Serikat, Charlie Chaplin, ke Garut pada 1932. Pada masa itu, Oei merupakan pengusaha yang sangat kaya dan sangat disegani di tingkat Asia.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Setahun lalu, Presiden Joko Widodo mencanangkan rencana revitalitasi jalur kereta api di sekitar Garut dan selatan Bandung. Saat itu, Presiden Jokowi menceritakan, daerah Garut memang dikenal indah dan sempat dikunjungi komedian terkenal asal Amerika Serikat, Charlie Chaplin.
Saat itu, mendatangkan aktor dunia ke Pulau Jawa bukan perkara yang mudah dan murah. Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengeluarkan uang untuk kegiatan hiburan semacam itu. Lalu, siapa yang mendatangkan Chaplin ke Garut?
Ternyata Chaplin datang ke Garut dan kemudian dilanjutkan ke Bali pada tahun 1932 dengan disponsori oleh pengusaha kaya raya asal Semarang, Jawa Tengah, Oei Tiong Ham (1866-1924). Pada awal abad ke-20, Oei Tiong Ham sudah menjadi pengusaha internasional dan dijuluki ”Rockeffeler Asia”.
Salah satu cicit Oei Tiong Ham, Anhar Setijadibrata, menceritakan, kedatangan Charlie Chaplin ke Jawa pada tahun 1932 turut disponsori oleh perusahaan Oei Tiong Ham Concern, yang di zaman itu salah satu anak usahanya aktif mengimpor film-film Hollywood dan Eropa. Charlie Chaplin diketahui pada tanggal 30 Maret 1932 berkunjung ke Garut yang dijuluki Swiss van Java.
Anhar adalah cucu dari Oei Liong Houw (kelahiran 1884). Putra pertama Oei Tiong Ham yang namanya tidak banyak dikenal. Ibu dari Oei Liong Houw adalah istri resmi Oei Tiong Ham yang dilamar dengan tandu merah. Lamaran dengan tandu merah dalam budaya Tionghoa adalah lamaran resmi untuk perempuan yang akan dijadikan istri pertama.
Sebagai tanda terima kasih atas keramahan pengundang, Charlie Chaplin menghadiahi ukiran berpigura yang menggambarkan tentang keindahan burung di taman di Buitenzorg (Bogor) dan Garut yang dikunjungnya kepada istri resmi Oei Tiong Ham, yakni Raden Ajeng Kasinem. RA Kasinem merupakan kerabat Bupati Semarang. Lukisan tersebut dinamai The Resting Birds in Buitenzorg and Garoet sebagai penanda kenangan indah yang dialami Charlie Chaplin saat tetirah di Jawa Barat.
Keberadaan sosok RA Kasinem dicatat sepintas oleh Liem Tjwan Ling, penulis buku biografi Raja Gula Oei Tiong Ham. Liem Tjwan Ling sepintas mengutip adanya kekasih Oei Tiong Ham seorang bangsawan Jawa kerabat Bupati Semarang, yang sempat memodali Oei Tiong Ham ketika jatuh bangkrut.
Jalur kekerabatan trah Bupati Semarang itu yang menghubungkan RA Kasinem dengan pamannya, pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Boestaman, yang kini makamnya terdapat di Bogor. Meski demikian, pernikahan Oei Tiong Ham dan RA Kasinem semasa itu tidak didukung oleh pihak keluarga masing-masing.
Keterangan tersebut diperkuat oleh informasi penulis buku sejarah Kota Semarang Dalam Kenangan, Jongkie Tio. Jongkie pernah menjamu putra Oei Tiong Ham, Oei Tjong Bouw, yang bermukim di Bangkok, Thailand. Ketika itu, Oei Tjong Bouw datang bersama Anhar Setijadibrata dan keluarga besar.
Jongkie Tio menunjukkan foto-fotonya bersantap siang bersama Oei Tjong Bouw, Anhar, dan keluarga besar keturunan hartawan Oei Tiong Ham. Lahan kediaman Oei Tiong Ham kini menjadi kompleks kantor Gubernur, Polda Jawa Tengah, dari Jalan Pahlawan hingga ke arah Jalan Kyai Saleh dan Jalan Veteran di Kota Semarang.
Perusahaan Oei Tiong Ham Concern di tahun 1920-an dan 1930-an sukses membangun bisnis gula dan mengembangkan usaha ke berbagai bidang. Dalam buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan terbitan Penerbit Buku Kompas tercatat, perusahaan Kian Gwan Concern (1863), cikal bakal perusahaan Oei Tiong Ham Concern yang didirikan Oei Tjie Sien, merintis beragam bisnis. Oei Tiong Ham yang meneruskan perusahaan itu kemudian fokus dengan jejaring bisnis pabrik gula di Pakies, Redjo Agoeng di Madiun, Krebet, Tanggulangin, dan Ponen.
Total luas pabrik mencapai 7.082 hektar. Tenaga ahli dari Jerman, Inggris, dan Belanda didatangkan ke jaringan bisnis Oei Tiong Ham yang sempat mengalami badai semasa Perang Dunia I, Malaise–resesi global–tahun 1929, Perang Dunia II, dan akhirnya dinasionalisasi Pemerintah Republik Indonesia di tahun 1961. Oei Tiong Ham Concern pun kini dikenal sebagai Grup Rajawali.
Ketika Oei Tiong Ham wafat, di tahun 1924, nilai kekayaannya mencapai 200 juta gulden. Berbagai surat kabar, seperti De Locomotief (Semarang), Java Bode, Nieuws van den Dag (Batavia), serta Soerabaiach Handelsblad menjuluki Oei Tiong Ham ”The Richest Man Between Shanghai and Australia”.
Adapun kenang-kenangan pigura dan lukisan dari Charlie Chaplin tersebut berhasil ditemukan kembali oleh Anhar Setijadibrata yang puluhan tahun mengumpulkan berbagai artefak milik keluarga besar Oei Tiong Ham dari berbagai sumber di dalam dan luar negeri.
Pigura tersebut kini disimpan di salah satu kamar di kompleks Hotel Tugu Kota Tua, di Jalan Kalibesar Barat, Jakarta. Kompleks tersebut juga dibangun di bekas kantor Oei Tiong Ham Concern di Batavia, yang dinamai Gedong Goelo. Papan bertulis Redjo Agoeng-Kemakmoeran Besar masih terpasang di dalam salah satu bangunan yang berada satu deret dengan bangunan bersejarah Toko Merah. Berbagai memorabilia terkait Charlie Chaplin terpasang di kamar tersebut.
Kebesaran industri berbasis kekayaan bumi Nusantara yang ditinggalkan Oei Tiong Ham dan sudah ditempat berbagai pasang-surut ekonomi akan memicu optimisme Indonesia mampu menghadapi pasang-surut gejolak ekonomi dan bencana.