Seorang teman di Pagar Alam mengirimkan foto bergambar sembilan jenazah terbaring di RSUD Besemah. Kejadian itu pastilah bukan kecelakaan biasa. Seketika, persiapan Natal pun berubah menjadi persiapan liputan.
Oleh
Rhama Purna Jati
·5 menit baca
Setiap Desember tiba, saya sudah bersiap-siap untuk merayakan Natal. Baju baru sudah terbeli, kue dan makanan ringan pun telah tersaji di ruang tamu.
Namun, peristiwa besar terjadi di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Bus Sriwijaya dengan nomor polisi BK 7031 AU, jurusan Bengkulu-Palembang, meluncur jatuh ke jurang sedalam 80 meter di tikungan Lematang, Kota Pagar Alam, Senin (23/12/2019) malam. Sebanyak 35 orang tewas dan hanya 13 penumpang yang selamat.
Seketika, persiapan Natal pun berubah menjadi persiapan liputan.
Pada Selasa (24/12/2019) dini hari, seorang teman di Pagar Alam mengirimkan foto bergambar sembilan jenazah terbaring di RSUD Besemah, Pagar Alam. Dari foto itu, tecermin bahwa kejadian itu bukan kecelakaan biasa. Seketika, persiapan Natal pun berubah menjadi persiapan liputan.
Segera saya menyiapkan laptop di atas meja dan langsung menghubungi pihak terkait untuk mengonfirmasi peristiwa tersebut. Dua jam setelah itu, berita pertama pun meluncur untuk Kompas.id.
Melalui sambungan telepon, dua berita lainnya menyusul. Dirasa cukup untuk berita hari pertama, saya pun bergegas berangkat ke Kota Pagar Alam yang berjarak 285 kilometer dari Palembang.
Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri melihat pool Sriwijaya Ekspress yang ada di Palembang. Sore itu, ada rombongan mahasiswa yang juga akan pergi ke Bengkulu menggunakan bus tersebut.
Rasa cemas terpancar jelas di wajah setiap penumpang. Walaupun demikian, mereka tetap berangkat. Tidak hanya penumpang, barang bawaan seperti koper, tas ransel, duren, hingga sepeda pun ikut diangkut di dalam dan di atas bus tersebut. ”Duh, nekat juga mereka,” kataku dalam hati.
Sekitar pukul 19.00 WIB, saya meluncur ke Pagar Alam dengan mengemudikan mobil dinas sendirian. Padahal, baru satu minggu yang lalu, saya datang ke Pagar Alam untuk meliput konflik satwa di sana.
Agar tidak sepi, di sepanjang perjalanan, saya memasang lagu-lagu Natal. Ya, cara ini lumayan efektif untuk menghadirkan suasana Natal di tengah tugas liputan.
Ketika malam Natal tiba, beragam ucapan Natal saya terima dari keluarga di Jakarta dan juga teman-teman di kota lain. Saya balas dengan template singkat yang sudah saya siapkan jauh-jauh hari.
Sekitar jam 01.00, saya tiba di Lahat, yang tidak lain merupakan kabupaten terakhir sebelum tiba Kota Pagar Alam. Saya memutuskan bermalam di sana karena lintasan Lahat-Pagar Alam terbilang ekstrem dengan jurang dan tebing di sepanjang jalurnya. Sangat berisiko untuk melintas dalam kondisi gelap dan mengantuk.
Sesampainya di Lahat, saya mencari hotel untuk menginap sejenak. Tiga hotel saya datangi, ketiganya penuh. Karena sudah terlalu lelah, saya memutuskan mencari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), kemudian memarkirkan mobil dan tidur di dalamnya.
Sekitar pukul 05.00, saya terbangun. Di toilet SPBU itu saya mandi. Setelah itu, saya kembali melanjutkan perjalanan ke Pagar Alam. Teringat bahwa hari itu adalah hari Natal. Namun, tak ada waktu untuk singgah ke gereja karena pada pukul 09.00 akan ada konferensi pers di Pagar Alam.
Di tengah derasnya guyuran hujan, saya pun melaju. Perjalanan sepanjang 95 kilometer yang biasanya ditempuh dalam waktu 2,5 jam dapat saya tempuh dalam waktu 1,5 jam. Hanya saja sempat terjadi insiden di mana mobil saya menyerempet spion mobil lain. Namun, masalah dapat terselesaikan segera.
Setibanya di Pagar Alam, saya pun langsung menuju RSUD Besemah untuk memperoleh data lengkap mengenai kecelakaan. Lima menit setibanya di tempat tujuan, konferensi pers pun dimulai.
Setelah konferensi pers, saya menulis satu berita untuk Kompas.id. Setelah itu, saya pun bergegas ke lokasi kecelakaan bus, yakni di tikungan Lematang. Hati terenyuh melihat kondisi bus tersebut. Ringsek dan hancur.
Puluhan petugas dan masyarakat sekitar bahu-membahu mencari korban yang masih hilang. Korban yang tewas sebagian besar duduk di bagian depan bus. Atas nama rasa kemanusiaan, para tim pencari rela mempertaruhkan nyawa di tengah derasnya air Sungai Lematang sedalam 4-6 meter.
Mereka membentuk pagar manusia di sekeliling bus agar tidak ada jenazah yang hanyut terbawa air sungai. Dengan sekuat tenaga, mereka menarik bangkai bus ke tepian secara bersama-sama untuk mencari jenazah yang terjepit.
Benar saja, di bagian depan bus yang ringsek itu, ada enam jenazah yang terjepit di dasar sungai. Jenazah itu kemudian diangkut melalui jalan tebing untuk kemudian dibawa ke RSUD Besemah.
Melihat perjuangan mereka, rasanya tidak adil jika saya masih mengeluhkan waktu libur yang tersita karena tragedi ini. Di hari Natal, bertugas demi kemanusiaan rasanya setimpal.
Saya memutuskan kembali ke RSUD Besemah untuk melihat kondisi di sana. Puluhan orang keluarga korban tampak gelisah duduk di depan kamar mayat, menunggu hasil identifikasi dari tim dokter forensik Polda Sumsel.
Raungan dan teriakan duka seakan menjadi alunan musik nan pilu saat itu. Mereka menangis tersedu, bahkan ada yang jatuh pingsan. Tak tega rasanya melihat penderitaan mereka tiba-tiba kehilangan orang yang paling dikasihi.
”Kak, siapkan tenda, bener nian ayah laninggal (Kak siapkan tenda, ayah sudah meninggal),” kata seorang keluarga korban yang menghubungi saudaranya setelah tahu ayah mereka menjadi korban kecelakaan.
Mobil ambulans pun silih berganti mengangkut jenazah korban. Berpindah ke ruang rawat RSUD Besemah, terbaring belasan korban selamat. Salah satunya Hasanah (54) yang selamat dalam kecelakaan itu bersama cucunya, Aisyah (9). Tangan kanannya dibalut perban karena dia diduga mengalami pergeseran tulang bahu.
Dia selamat setelah berhasil memecahkan kaca jendela dengan botol air mineral. Meski mengalami trauma, dia masih tetap bersyukur karena bisa selamat. ”Kalau bukan pertolongan Tuhan, tidak mungkin saya selamat,” tuturnya.
Di tengah kedukaan, Hasanah masih bisa bersyukur.
Bagi saya, Natal kali ini merupakan yang paling berkesan sepanjang hidup. Dari liputan kali ini saya belajar, merayakan Natal bukan hanya pesta dan makan-makan. Natal adalah meningkatkan rasa kemanusiaan dan tetap bersyukur dalam kondisi apa pun.
Merayakan Natal bukan hanya pesta dan makan-makan.