Sekitar 2.000 buruh yang tergabung dalam tujuh serikat buruh di Palembang berdemonstrasi menolak RUU Cipta Lapangan Kerja. RUU itu dinilai hanya berpihak kepada pengusaha.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sekitar 2.000 buruh yang tergabung dalam tujuh serikat buruh di Palembang, Sumatera Selatan, berunjuk rasa di depan kantor Gubernur dan Kantor DPRD Sumsel, Rabu (11/3/2020). Mereka mendesak pemangku kepentingan menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang dinilai sangat merugikan kaum buruh.
Di tengah terik matahari, mereka membentangkan spanduk yang berisi beragam pesan terkait penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja. Kedatangan mereka disambut oleh Gubernur Herman Deru. Namun, saat tiba di kantor DPRD Sumsel, tidak ada anggota DPRD yang menemui buruh karena mereka sedang mengikuti pansus di Jakarta.
Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Sumsel sekaligus koordinator aksi, Hermawan, mengatakan, aksi ini merupakan bentuk perjuangan buruh untuk menolak disahkannya RUU omnibus law. Menurut dia, ada beberapa poin yang sangat menyudutkan buruh.
Kebijakan yang menyudutkan itu seperti dibukanya keran tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia. Hal ini akan berdampak pada membanjirnya tenaga kerja asing di tengah sulitnya buruh mencari pekerjaan.
Selanjutnya adalah kebijakan untuk menghapuskan upah minimum regional (UMR) di tingkat kabupaten dan kota dan hanya mengakui upah minimum provinsi (UMP). Padahal, umumnya, UMP tidak sebesar UMR. Hal ini tentu akan merugikan kaum buruh.
Poin lain yang merugikan adalah sistem hubungan kerja secara kontrak yang diperluas. ”Dengan aturan ini, buruh bisa dikontrak kapan pun, bahkan sampai seumur hidup. Aturan ini akan membuat masa depan buruh tidak terjamin terutama setelah mereka tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut,” katanya.
Apalagi, kata Hermawan, ada poin yang juga menyudutkan kaum buruh, yakni tidak lagi diberlakukannya pesangon bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak. ”Ini tentu akan merugikan kaum buruh apalagi bagi mereka yang sudah lama bekerja di sebuah perusahaan,” ujarnya.
Menurut Hermawan, RUU ini hanya menguntungkan kaum pengusaha tanpa memikirkan nasib buruh. ”Untuk itu, secara tegas, kami, kaum buruh, menolak RUU ini disahkan,” katanya.
Untuk itu, secara tegas, kami, kaum buruh, menolak RUU ini disahkan.
Kekhawatiran yang sama juga menaungi buruh yang bekerja di industri rokok, tembakau, makanan, dan minuman. Sekretaris Federasi Serikat Buruh Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSB-RTMM) Sumsel Nanang Setiawan mengatakan, saat ini banyak buruh di sektor ini yang harus berhenti bekerja karena peran mereka yang sudah tergantikan dengan keberadaan mesin.
Nanang mengatakan, keberadaan buruh pabrik rokok, tembakau, makanan, dan minuman mencapai sekitar 20.000 orang. Keberadaan mereka bisa terancam jika aturan ini disahkan. ”Apalagi, saat ini revolusi industri 4.0 sudah mewabah di Sumsel. Akan lebih banyak lagi tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Hermawan menambahkan, tuntutan untuk menolak RUU omnibus law ini sudah disampaikan kepada Gubernur Herman Deru dan dia berjanji akan menyampaikan aspirasi buruh kepada pemerintah pusat.
Selain itu, tuntutan ini juga telah disampaikan kepada DPRD melalui Komisi V yang bermitra langsung dengan sektor ketenagakerjaan untuk kemudian diusulkan kepada DPR. ”Kami berharap RUU ini benar-benar dibatalkan. Jangan sampai buruh menjadi korban,” ujarnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumsel Koimudin menuturkan, tuntutan dari buruh sudah diterima oleh Gubernur Sumsel dan selanjutnya akan dibawa ke pemerintah pusat. ”Terkait teknis akan dibicarakan minggu depan,” katanya.
Menurut dia, pemerintah akan mempertimbangkan semua masukan dari berbagai pihak, baik pengusaha maupun buruh. Bahkan, segala permasalahan terkait perburuhan selalu dibahas oleh forum tripartit yang di dalamnya ada perwakilan setiap pihak.
Koimudin menuturkan, sebenarnya perlindungan terhadap buruh di Sumsel sudah dituangkan dalam peraturan daerah tenaga kerja lokal. Aturan ini mewajibkan perusahaan untuk melibatkan tenaga kerja lokal untuk bekerja di dalam perusahaan tersebut. ”Tentu tenaga kerja itu harus memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan,” katanya.