Mahasiswa dan Buruh di Lampung Siapkan Aksi Lanjutan Sikapi ”Omnibus Law”
Ratusan mahasiswa dan buruh kecewa saat berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di depan kantor DPRD Lampung, Selasa (10/3/2020). Para demonstran siap menggelar aksi lanjutan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Ratusan mahasiswa dan buruh kecewa saat berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di depan kantor DPRD Lampung, Selasa (10/3/2020). Mereka menilai Ketua DPRD Provinsi Lampung Mingrum Gumay tidak benar-benar mendengar aspirasi yang disampaikan. Para demonstran siap menggelar aksi lanjutan.
Aksi unjuk rasa itu diikuti sekitar 300 orang. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Lampung. Buruh diwakili beberapa orang yang hadir, mewakili serikat pekerja.
Demonstrasi berlangsung sejak pukul 10.00. Sempat terjadi saling dorong antara mahasiwa dan petugas satuan polisi pamong praja di depan gerbang perkantoran Pemerintah Provinsi Lampung. Setelah menggelar aksi sekitar 2 jam, para demonstran diperbolehkan menggelar aksi di depan gedung DPRD.
Ketua DPRD Provinsi Lampung Mingrum Gumay sempat menemui para pengunjuk rasa. Mingrum bahkan menandatangani surat tuntutan mahasiswa dan serikat buruh. Dia juga mengatakan bakal menyampaikan tuntutan itu kepada pemerintah pusat. Namun, Mingrum tak lama. Dia segera meninggalkan para demonstran.
Ifran Fauzi Rachman, juru bicara aksi, menilai, sikap itu terkesan menunjukkan anggota Dewan yang tidak benar-benar ingin mendengarkan aspirasi. Padahal, saat itu, pengunjuk rasa menunggu pernyataan sikap dari DPRD Lampung. Pihaknya berencana menggelar aksi serupa jika dalam tiga hari ke depan DPRD tidak membuat pernyataan sikap sesuai tuntutan mahasiswa.
”Kami mendesak DPRD Provinsi Lampung membuat pernyataan sikap menolak dengan tegas RUU Omnibus Law yang disampaikan kepada pemerintah pusat,” kata Irfan.
Mahasiswa dan serikat buruh di Lampung menolak RUU tersebut karena proses pembahasannya tidak transparan dan cenderung merugikan pihak buruh. Selain itu, RUU itu juga diduga dijadikan alat untuk memasukkan aturan yang menguntungkan pengusaha besar.
Wakil Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Provinsi Lampung Hasan menuturkan, saat ini masih banyak perusahaan yang memberikan upah di bawah standar minimal pemerintah. Skema pengupahan bulanan atau per jam yang akan diusulkan semakin tidak adil karena memperlebar diskriminasi bagi pekerja.
Kami mendesak DPRD Provinsi Lampung membuat pernyataan sikap menolak dengan tegas RUU Omnibus Law.
Selain itu, masih banyak buruh yang harus berjuang mendapatkan pesangon hingga ke pengadilan. Bahkan, meskipun buruh dinyatakan menang di meja hijau, masih ada perusahaan yang tidak mau membayar pesangon. Untuk itu, buruh khawatir jika RUU yang disusun justru kian mereduksi hak-hak buruh.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Chandra Muliawan menilai, sebagai pihak yang akan terdampak aturan ini, kelompok buruh semestinya dilibatkan secara aktif dalam perumusan RUU sehingga tak menuai polemik. Jangan sampai RUU yang dibuat untuk memperluas lapangan kerja justru tidak berpihak kepada para pekerja.
Alasannya, pembahasan terkait kemudahan izin usaha menjadi pasal yang paling banyak dibahas. Hal ini menjadi indikasi bahwa aturan itu hanya untuk mempermudah investasi. Padahal, pemerintah juga harus menjamin kesejahteraan buruh.