Gerai Maritim yang dibangun untuk mendukung program tol laut belum juga berfungsi. Bangunan bernilai miliaran rupiah ini belum dirasakan dampaknya oleh warga meski telah berjalan lima tahun.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·5 menit baca
Nama bangunan pendukung program tol laut ini mentereng: Gerai Maritim. Namun, lokasinya yang di antara kebun-kebun warga, tak pernah berfungsi, membuat bangunan senilai miliaran rupiah ini terkesan sia-sia. Bangunan ini serupa wajah kelam program tol laut yang belum dirasakan dampaknya oleh warga meski telah berjalan lima tahun.
Tersembunyi di rimbunnya pohon kelapa, mete, dan tanaman lainnya, sebuah bangunan bercat putih, dengan atap biru, berdiri sekitar 30 meter dari jalan aspal. Tanaman merambat mulai menutup jalan beton selebar 3 meter. Lampu depan bangunan masih menyala meski waktu telah menunjukkan pukul 09.20 Wita, Kamis (5/3/2020). Berjalan menuju bangunan ini serasa berada di acara uji nyali.
Di samping kiri bangunan, di sebuah jalan setapak selebar setengah meter, La Haciru (71) mengendarai sepeda motor membawa karung di bagian depan. Sepeda motornya doyong melewati jalan dari tanah di Kelurahan Mandati Dua, Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ia baru saja memanen jagung di kebunnya, sekitar 100 meter dari jalan aspal.
Saya tidak tahu ini gedung apa, tapi punya pemerintah.
Kepala Lingkungan Endapo ini memacu motor melewati bangunan besar di sebelah kanannya. Setiba di jalan aspal, tepat di depan jalan masuk menuju bangunan putih tersebut, ia berhenti sejenak untuk memperbaiki letak karung.
”Habis ambil jagung di kebun. Setiap ke sini, ini bangunan pasti saya lewati. Karena kebunku ada di belakang bangunan ini,” kata Haciru, menunjuk gedung dengan pintu besi yang tertutup rapat. ”Saya tidak tahu ini gedung apa, tapi punya pemerintah,” imbuhnya.
Haciru mengingat, bangunan tersebut dibangun sekitar dua atau tiga tahun lalu. Tanpa banyak pemberitahuan, pembangunan pun dilaksanakan dan selesai dalam waktu yang cepat, dan bangunan pun berdiri. Bangunan besar itu jauh dari permukiman warga. Sejauh ini,
Haciru tidak pernah melihat ada aktivitas di gedung ini. Kakek tujuh cucu ini bahkan tidak tahu apa yang ada di dalam dan bagaimana isi bangunan tersebut. Yang ia tahu, bangunan ini selalu tertutup saban ia melintas.
Di seberang bangunan itu, Surudin (68), warga lainnya, sedang merawat tanaman singkong di kebunnya. Setiap pekan ke kebun, ia juga tidak pernah melihat bangunan terbuka. Ia bahkan tidak tahu pemilik bangunan tersebut dan apa maksud membuat bangunan di tengah perkebunan warga.
Bangunan berukuran 15 meter x 10 meter ini berjarak sekitar 700 meter dari permukiman warga. Kiri-kanan dan depan-belakang bangunan itu dikelilingi kebun jagung, singkong, dan kelapa milik masyarakat. Bangunan terdekat adalah kantor PDAM Wakatobi, berjarak sekitar 300 meter.
Miliaran rupiah
Depo Gerai Maritim adalah nama bangunan ini yang disematkan pemerintah. Bangunan ini dibangun Kementerian Perdagangan untuk mendukung program tol laut yang telah berjalan sejak 2015 lalu. Hingga awal 2019, Gerai Maritim telah terbangun di Wakatobi, Kepulauan Aru, Lembata, Sabu Raijua, Mimika, Kepulauan Yapen, Tidore Kepulauan, Fakfak, dan Teluk Wondama.
”Gerai Maritim (di Wakatobi) itu dibangun sejak 2017. Kalau tidak salah, anggarannya Rp 2 miliar dari Kementerian Perdagangan. Nilai itu untuk bangunannya saja, belum fasilitas lainnya,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Wakatobi Safihuddin, saat ditemui di ruang kerjanya.
Gerai Maritim tersebut, kata Safiuddin, dilengkapi dengan lemari pendingin, forklift, genset, dan sejumlah alat pendukung lainnya. Fasilitas itu diadakan untuk mendukung program tol laut di Wakatobi sejak 2015. Rencana besar dari pembangunan Gerai Maritim, semua barang yang dibawa dari tol laut ditampung terlebih dahulu di situ untuk didata, dikumpulkan, dan dibedakan sesuai jenisnya.
Hal itu agar mengetahui seberapa banyak barang yang beredar di pasaran dari tol laut sehingga mudah mengukur perbedaan harga. Selain itu, juga sebagai tempat penampungan hasil bumi masyarakat Wakatobi yang akan dikirim ke luar pulau. Hanya saja, Safiuddin mengakui, Gerai Maritim tersebut belum difungsikan sebagaimana mestinya.
Barang dari kontainer yang turun dari tol laut dibongkar di pelabuhan dan tidak pernah singgah ke Gerai Maritim. Akibatnya, barang dijual dengan bebas oleh pengusaha, tanpa diketahui mana barang dari tol laut dan mana yang bukan. ”Kami sudah sampaikan agar barang dibawa ke Gerai Maritim dahulu. Tapi mereka (pengusaha) membongkar ketika kami tidak ada,” kilah Safiuddin.
Sejauh ini belum pernah ada sanksi bagi pengusaha yang melanggar. ”Tol laut ini permasalahannya kompleks. Selain jadwal yang tidak tentu, ya, banyak hal yang harus diperbaiki. Termasuk muatan balik tol laut yang belum berjalan,” ucapnya. Lawiya (71), salah seorang pengusaha yang memanfaatkan tol laut, mengatakan, harga kebutuhan pokok yang dibawa menggunakan tol laut memang jauh lebih murah. Satu kontainer berkapasitas 20 ton dihargai Rp 7,7 juta.
”Kami beli terigu, gula, dan beras ketan dari Surabaya. Kami jual lebih murah dari barang yang kami ambil dari Baubau atau Kendari,” kata Lawiya, di kediamannya. Puluhan karung berisi terigu, beras, dan barang campuran tertumpuk di bagian tengah rumah yang sekaligus menjadi tempatnya berjualan.
Menurut Lawiya, barang yang datang lewat tol laut memang langsung dibongkar di pelabuhan. Ia membawa mobil bak terbuka, karyawan, dan membawanya ke gudang penyimpanan. ”Tidak pernah disuruh dibawa ke gudang pemerintah. Gerai apa namanya?” kata Lawiya yang asing dengan nama Gerai Maritim.
Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan Wanci Arman Saleh mengatakan, pembongkaran barang tol laut untuk dibawa ke Gerai Maritim bukan wewenangnya. Selama pengusaha menunjukkan dokumen resmi, tidak ada alasan untuk menahan barang berlama-lama di area penampungan kontainer.
Menurut Arman, pihaknya hanya bertugas untuk melayani kapal yang datang, memfasilitasi pembongkaran kontainer, dan melayani keberangkatan.
”Di luar dari itu bukan wilayah kami. Keterlambatan kapal tol laut hingga angkutan balik itu tidak dalam ranah pengawasan kami,” ucapnya. Gerai Maritim yang tidak terurus di Wakatobi hanyalah sebagian dari wajah muram program tol laut. Bangunan ini hanya satu dari sejumlah permasalahan program yang telah menelan anggaran Rp 1,1 triliun hingga 2019 ini.
Hanya saja, seperti tutur Wardiah (56), ibu rumah tangga di Wangi-Wangi, ”Yang saya rasakan, harga barang selalu naik. Ini gula mulai naik lagi Rp 15.000 per liter. Kapan harga bisa turun?” tanyanya.