Wajah Jerat Lingkaran Hitam Kejahatan Seksual dari Kebun Durian
Kekerasan seksual berujung kematian bocah laki-laki terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah. Menambah deretan panjang kekerasan seksual pada anak yang belum juga teratasi tuntas.
Mendung menggantung di Desa Prigi, 11 kilometer arah timur alun-alun Banjarnegara, Jawa Tengah. Siang itu, permukiman di RT 001 RW 005, Desa Prigi, lengang. Duka masih menyelimuti desa di kawasan perbukitan itu, Kamis (13/2/2020). MR (12), bocah laki-laki pasangan Bikam Sukamto (45) dan Jariyah (44), tewas dibunuh Kirah alias Bolot (33), tetangganya sendiri.
Jenazah MR ditemukan di kebun durian di luar permukiman pada Senin (3/2) malam setelah tak ada kabar selama tiga hari. ”Jumat siang setelah Jumatan, Bolot mengajak anak saya cari durian. Anak saya bilang nanti karena mau tidur dulu. Lalu, sore harinya Bolot datang lagi mengajak pergi anak saya,” tutur Jariyah, Kamis.
Hingga malam, anak kelima dari delapan bersaudara itu belum juga pulang ke rumah. Jariyah dan suaminya mencari ke tetangga sekitar dan bertanya kepada Bolot. ”Katanya, anak saya sudah pulang duluan sejak sore,” ujar Jariyah.
Bolot adalah orang yang pendiam dan tidak pernah ada tanda-tanda kelainan seksual.
Hari-hari berikutnya, keluarga bersama warga desa dan polisi mencari MR. Bahkan, Bolot yang bernama asli Kirah sempat membantu pencarian sebelum pergi ke luar kota. Bau menyengat di areal perkebunan mengantarkan warga menemukan jenazah MR dalam posisi tengkurap, ditimbun sampah rumput dan dedaunan.
Hasil otopsi menunjukkan luka lebam pada leher akibat dicekik serta luka sayatan benda tajam. Pada anus korban terdapat luka horizontal akibat benda tumpul. ”Saya tidak menyangka dia pelakunya. Tega-teganya berbuat kejam kepada anak saya seperti itu. Saya berharap dia dihukum mati,” tutur Jariyah.
Tersangka Bolot mengaku dirinya pernah mengalami pelecehan seksual pada 2014 oleh teman lelakinya saat bekerja di Jakarta. Selain bekerja di toko kebutuhan pokok, Bolot juga ikut dalam komunitas sesama jenis. Ia pun beberapa kali melayani hubungan sesama jenis dengan upah Rp 50.000 sampai Rp 1,5 juta. ”Saya penasaran, waktu di Jakarta saya pernah digituin orang, sama teman-teman pada 2014,” kata Bolot.
Salah satu barang bukti yang ditemukan polisi di kamar tersangka adalah dildo berbahan kayu berukuran sekitar 30 sentimeter. Tersangka dikenal bekerja serabutan, tinggal di rumah bersama ibu dan neneknya. ”(Dildo) itu dikasih teman. Katanya buat mainan dimasukkan ke anus, tapi saya tidak bisa,” ujarnya.
Tersangka Bolot mengatakan, dirinya juga sempat merasa kesal karena korban MR diduga pernah mencuri durian di kebun milik ibunya. ”Saya orangnya gampang kesel, gampang nekat. Saya sudah tidak ada kesabaran. (Cara membujuknya adalah) saya tawari durian, dia tidak melawan (sampai dibunuh),” tuturnya.
Kepala Kepolisian Resor Banjarnegara Ajun Komisaris Besar I Gusti Agung Dwi Perbawa Nugraha menyampaikan, dari pemeriksaan ahli, kondisi kejiwaan tersangka sehat. Oleh karena itu, tersangka dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun. Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76 huruf (e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
Tersangka juga dijerat Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan Pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun. Kedua kaki korban ditembak kepolisian karena saat olah tempat kejadian perkara, tersangka sempat melawan petugas dan hendak kabur.
Pendiam
Kepala Desa Prigi Rehono menyampaikan, Bolot pendiam dan tidak pernah ada tanda-tanda kelainan seksual. Di lingkungan pun dikenal sebagai orang baik, dalam arti tidak pernah mengganggu orang lain. ”Orangnya pendiam. Memang tidak pernah ikut ronda, arisan, lebih banyak menyendiri,” katanya.
Rehono menyebutkan, jauh hari sebelum peristiwa menghebohkan itu, di desanya telah dilaksanakan program Posyandu Remaja. Anggotanya remaja 15 tahun ke bawah. Posyandu itu melakukan sosialisasi terkait bahaya narkoba, pergaulan, dan lainnya.
Melalui tokoh agama dan di setiap pertemuan RT dilakukan sosialisasi tentang pergaulan sehat. Kini, pembunuhan MR jadi pelajaran penting bagi warga desanya. ”Itu kejadian luar biasa dan di luar kemampuan dan sepengetahuan saya, juga masyarakat. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda Bolot itu punya kelainan seperti itu karena belum pernah ada aduan dari masyarakat atau anak-anak yang diperlakukan seperti itu. Siapa pun akan kaget,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Manajer Program ECPAT Indonesia Andy Ardian menyampaikan, anak-anak rentan kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, di antaranya karena minimnya edukasi. ”Anak-anak kita tidak mendapat edukasi secara tepat apa itu kekerasan seksual. Apalagi anak laki-laki dianggap anak yang tidak rentan sehingga ketika ada aktivitas yang mengarah ke seksualitas, mereka menganggap itu bukan bagian kekerasan, seperti bercandaan atau sekadar aktivitas biasa,” paparnya. ECPAT merupakan organisasi yang menentang eksploitasi seksual komersial anak.
Selain tak punya pengetahuan tentang seksualitas, kata Andy, ada satu sisi yang selalu dikatakan bahwa anak laki-laki itu lebih tegar daripada anak perempuan. Jadi, ketika mereka mengalami kekerasan seksual, masyarakat selalu memandang bahwa anak lelaki harusnya kuat, harus bisa menjaga rahasia dan tegar.
”Itu jadi persepsi yang dipahami anak laki-laki. Ketika mereka mengalami kekerasan seksual, mereka malu untuk menyampaikan hal ini. Jadi, perlu didorong bagaimana orangtua membangun pemahaman kepada anak bahwa tidak ada yang salah, misalnya jika anak laki-laki menceritakan sesuatu yang ia merasa itu hal yang salah atau meragukan dirinya,” tuturnya.
Pemantauan media yang dilakukan ECPAT Indonesia sepanjang 2019, terdapat 73 kasus eksploitasi seksual pada anak.
Terkait Posyandu Remaja, kata Andy, juga perlu dilihat sejauh mana program itu menjangkau anak-anak. ”Indonesia ini, kan, besar kalau mau ditanya berapa kali sosialisasi dilakukan setahun, berapa anak yang dilihat, apakah itu masif dan apakah itu kontinu. Itu jadi evaluasi kerja-kerja kita dalam perlindungan anak. Pasti ada celah-celah yang kurang di situ,” paparnya.
Berdasarkan hasil pemantauan media yang dilakukan ECPAT Indonesia sepanjang 2019, terdapat 73 kasus eksploitasi seksual yang terjadi pada anak. Jumlah korban dari 73 kasus itu adalah 164 anak.
Pemberitaan media
Dari penelusuran pemberitaan Kompas sejak 2010, setidaknya terdapat 63 berita terkait dengan pelecehan seksual. Di Jakarta, kernet metromini berinisial APS (24) menyodomi 14 anak laki-laki berusia 10-14 tahun. Adapula Babeh (48), yang sejak 2007 membunuh 7 anak dan 4 di antaranya dimutilasi. Tersangka adalah penyuka sesama jenis pengidap nekrofilia dan pedofilia. Di Jakarta Barat, Gunawan (24) diduga mencabuli tujuh anak laki-laki seusai bermain sepak bola. Mereka dijanjikan direkrut pemain idola, Alessandro Del Piero.
Di Bekasi, jasad bocah laki-laki ditemukan tergantung dan diduga sebelumnya menjadi korban kekerasan seksual. Tahun 2011, di Jakarta, Sartono, tersangka pencabulan serta perdagangan anak remaja, mengaku telah mencabuli 96 anak. Umur korban antara 14-17 tahun.
Baca Juga: Belum Sebulan, Delapan Kasus Pencabulan Anak Terjadi di Pemalang
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, kasus pelanggaran hak anak meningkat. Pada 2011 terdapat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak, sedangkan pada 2012 jumlahnya meningkat jadi 2.637 kasus. Dari angka itu, sebanyak 1.266 kasus adalah kekerasan seksual (Kompas, 22/12/2012).
Kekerasan seksual pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah juga mewarnai pemberitaan Kompas pada 2014. Dua oknum guru di Jakarta International School menjadi tersangka kejahatan seksual pada anak.
Kasus di luar Jakarta pun terjadi. Di Sukabumi, Jawa Barat, tersangka Emon menuliskan sekitar 120 nama korban kekerasan seksual di bukunya sebagai kenang-kenangan. Di Banyumas, pedagang cilok keliling mencabuli 28 anak. Anak-anak diimingi uang Rp 5.000 hingga Rp 20.000.
Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Irwanto, yang juga Co-director Pusat Kajian Perlindugan Anak FISIP-UI, menuliskan opini ”Seks dan Kemunafikan Kita” di harian Kompas, Sabtu, 24 Mei 2014. Irwanto menuliskan, pelaku tidak lahir sebagai orang jahat. Ada pengalaman dan kondisi tertentu yang membuat mereka seperti itu. Ini bukan untuk bersimpati dengan mereka, melainkan kita harus realistis bahwa akar masalahnya juga diidentifikasi.
Masih dalam opini Irwanto, ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual, mereka tak berani lapor atau menceritakan kepada siapa pun karena selain takut dimarahi, sebagian mereka tahu bahwa itu tabu—menimbulkan aib dan rasa malu. Meski prihatin dengan jumlah korban dan perlu penanganan cepat, tetap diperlukan pihak berkompeten yang mampu menyeleksi, membuat protokol, dan mengoordinasi intervensi sekaligus melaporkan hasilnya. Anak-anak dan keluarganya bukan bahan mainan dan eksperimen.
Selain itu, lanjut Irwanto, pilar kehidupan, seperti otoritas profesi dan keagamaan, tokoh politik dan sosial budaya, media, serta industri komersial, perlu bersepakat mengenai yang baik dan buruk di ranah publik.
Lingkaran hitam kejahatan seksual mengintai siapa pun dan di mana pun. Di Desa Prigi, MR, anak yang penurut dan rajin mengaji ini, tak luput menjadi korban dari predator kejahatan seksual. Anak Bikam yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan dan Jariyah yang sesekali menganyam bambu untuk dijadikan kuda lumping untuk menambah penghasilan itu tewas secara keji.
Rumah Bikam dan Jariyah di Desa Prigi, yang biasanya ramai canda-tawa enam anaknya yang masih tinggal bersama, kini sepi dan muram. Di dalam rumah berdinding tembok terkelupas berlantai semen pecah-pecah itu kini masih ada lima anak dan anak balita. Mereka kakak juga adik-adik MR.
Sebenarnya, mereka adalah bagian dari jutaan anak Indonesia yang butuh perlindungan dari intaian lingkaran hitam kejahatan seksual. Dari kebun durian, kabar duka itu sepatutnya dihentikan.