Kepemimpinan perempuan perlu dibangun sejak dari desa. Itu bertujuan meningkatkan kesigapan aparatur, terutama dari kaum perempuan, dalam penanganan dan pencegahan masalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kepemimpinan perempuan perlu dibangun sejak dari desa. Hal itu bertujuan meningkatkan kesigapan aparatur, terutama dari kaum perempuan, dalam penanganan dan pencegahan masalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Berbagai persoalan pelik yang dihadapi perempuan dan anak sudah ada sejak tingkat keluarga. Penanganan dan pencegahan kerap mental atau lamban karena ketiadaan kepemimpinan perempuan sejak tingkat rukun tetangga, apalagi di tingkat desa/kelurahan/nagari.
”Untuk itu, saya berharap semakin banyak perempuan yang mampu memimpin dari tingkat desa,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat Festival Kepemimpinan Perempuan dan Kongres Nasional V Koalisi Perempuan Indonesia di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/2/2020).
Untuk itu, saya berharap semakin banyak perempuan yang mampu memimpin dari tingkat desa.
Menurut data kementerian, perempuan yang menjadi kepala desa hanya 5 persen dari 78.000 desa. Dengan kata lain, cuma 1 di antara 20 kepala desa adalah perempuan. Kondisi ini amat jauh dari harapan minimal keterwakilan perempuan dalam politik di berbagai bidang yang ditargetkan 30 persen pada 2024. Sedawarsa mendatang, Indonesia memimpikan kesetaraan jender di mana peran lelaki dan perempuan di seluruh lini berimbang atau disebut planet 50:50.
Menurut Darmawati, perempuan tetap perlu diberi kesempatan luas dalam kepemimpinan, khususnya untuk mengatasi berbagai masalah domestik. Perempuan dan anak masih menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan sehingga kondisi keadilan sosial yang menjunjung harkat dan martabat manusia sulit tercapai.
Peran perempuan amat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan, keterbelakangan, perbudakan, perdagangan manusia, perempuan dan anak yang dilacurkan, dijebak dalam jaringan narkotika, anak yang dipekerjakan, dan perkawinan anak.
”Sebenarnya sudah banyak ruang bagi perempuan untuk mengambil peran penting dalam kepemimpinan, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara optimal akibat kendala psikologis, kultural, dan politik,” kata Darmawati.
Misalnya perempuan yang ingin menjadi kepala desa tidak bisa sekadar cerdas, tetapi juga harus memiliki modal sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat. Warga yang masih dalam budaya patriarki atau menjunjung kelakian menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan untuk berada dalam jalur kepemimpinan.
Spektrum masalah
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, spektrum masalah perempuan dan anak amat luas. Dalam ketahanan pangan, saat ini, bagaimana perempuan mampu berdaya dalam sistem pertanian ramah lingkungan.
Selain itu, dalam ketenagakerjaan di era industri 4.0, perempuan perlu dipersiapkan agar tetap berdaya ketika mata pencarian segera tergantikan oleh sistem robotika atau kecerdasan artifisial. Misalnya, loket jalan tol dan area parkir yang banyak mengakomodasi pekerja dari perempuan, suatu saat tidak memerlukan kehadiran manusia karena sistem pembayaran dengan kartu.
”Apa yang bisa disiapkan bagi kaum perempuan agar tetap berdaya dalam zaman yang penuh kemajuan teknologi,” katanya.
Dian melanjutkan, kepemimpinan perempuan yang secara persentase ideal adalah 50 persen diyakini akan mampu menjamin perlindungan terhadap martabat perempuan dan anak. Regulasi dari tingkat rukun tetangga hingga perundang-undangan yang mendiskriminasi perempuan berpotensi digugat dan dicabut lalu digantikan peraturan yang lebih adil.
”Kami amat prihatin dengan keberadaan peraturan yang mengatur privasi perempuan, misalnya tentang keharusan berbusana bagi perempuan, larangan perempuan keluar malam. Regulasi seperti itu harus dicabut,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, saat membuka acara di Asrama Haji Sukolilo itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, kepemimpinan perempuan sejak dari desa akan membantu penanganan jurang kemiskinan.
Di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini, data sampai September 2019, tingkat kemiskinan di perkotaan 6,7 persen. Namun, tingkat kemiskinan di perdesaan 14,1 persen atau lebih dua kali lipat dari kondisi perkotaan. Kondisi ini berbahaya karena desa-desa berpotensi ditinggalkan dan tak maju-maju.
”Untuk itu, kepemimpinan perempuan memang perlu terus digalakkan sejak dari desa atau satuan terkecil, yakni keluarga,” ujar Khofifah yang juga mantan Menteri Sosial dan mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.