Menembus Pertambangan Liar dan Menggali Kisah Bayi Berkelainan
Emas dari Natal terkenal mutunya selama berabad-abad. Namun, penambangannya yang tidak mengindahkan lingkungan membuat bayi-bayi di sana lahir cacat. Nikson Sinaga menempuh perjalanan panjang untuk menuliskan kisahnya.
Informasi adanya bayi dengan kelainan usus atau gastroschisis membawa saya sampai ke Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kasus ini dinilai penting karena kondisi bayi dengan usus di luar perut ini diduga akibat dampak pencemaran lingkungan oleh tambang emas ilegal.
Rencana liputan konflik lahan masyarakat adat di Toba Samosir yang semula hendak saya kerjakan terpaksa ditunda. Dari Toba Samosir, saya bergerak ke Mandailing Natal yang lokasinya 560 kilometer di selatan Kota Medan pada Minggu (10/11/2019).
Setelah menempuh 8 jam perjalanan mengendarai mobil operasional harian Kompas, saya pun tiba di Kota Padang Sidimpuan. Di sini saya menginap semalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Mandailing Natal. Saya menargetkan tiba di sana siang hari agar bisa mengirim laporan awal tentang pertambangan emas rakyat tanpa izin yang telah menjamur di sepanjang Sungai (Batang) Natal.
Setelah melewati Panyabungan, ibu kota Mandailing Natal, jalur ke arah Sungai Natal yang harus dilalui melewati jalan yang berkelok-kelok di punggung bukit. Hamparan hutan yang hijau tampak dari tepi jalan. Suasana terasa sejuk dengan kehadiran pohon-pohon besar nan rimbun di tepi jalan. Saya perhatikan, diameter pohon bisa mencapai 1 meter.
Memasuki kampung Aek Inumon Dua, Kecamatan Panyabungan Selatan, kendaraan terpaksa berhenti karena harus antre akibat jalanan tertimbun material longsor. Batu dan tanah terus berjatuhan dari punggung bukit setinggi 80 meter.
”Ada material longsor dari bukit. Tunggu agak reda biar bisa lewat,” kata seorang warga.
Beberapa mobil penumpang dan sepeda motor tampak nekat meskipun material longsor berupa batu kecil dan tanah terus berjatuhan. ”Gas terus, jangan lihat ke atas,” kata warga yang memandu.
Selama menunggu sekitar 15 menit, batu besar berdiameter hingga 1 meter, batang pohon, dan tanah terlihat longsor dari bukit dan menimbun jalan. Beruntung saat itu tidak ada kendaraan yang sedang menerobos jalan. Jalan provinsi itu pun benar-benar tidak bisa dilalui.
Baca juga: Terbata-bata Membaca Bata Purba
Saya memutuskan untuk membuat laporan tentang longsor tersebut yang terbit di harian Kompas edisi 12 November 2019 dengan judul ”Longsor Berulang di Panyabungan-Natal”.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya alat berat dari Panyabungan tiba di lokasi longsor. Jalan pun bisa dilalui sekitar pukul 17.00. Saya lalu melanjutkan perjalanan ke lokasi tambang emas.
Jalanan terasa sangat sepi ketiga gelap menjemput senja. Di tengah hutan belantara, saya tidak berpapasan dengan satu kendaraan pun hingga lebih dari satu jam.
Jalan berbatu selebar 3 meter, tikungan tajam, serta tanjakan dan turunan terjal membuat saya hanya bisa melaju dengan kecepatan 20-40 kilometer per jam. Sinyal telepon seluler hilang sama sekali.
Saya akhirnya tiba di gapura selamat datang di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Beberapa saat kemudian tampak rest area TNBG, berupa bangunan kecil berlampu redup.
Saya mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Saya menengok telepon seluler, ternyata sudah ada sinyal. Saya pun teringat seorang teman di TNBG, Bobby Nopandry. ”Sekitar 1,5 jam perjalanan lagi ada warung makan yang menyediakan penginapan. Setelah itu, juga ada Mess Pemerintah Provinsi Sumut,” katanya lewat ponsel.
Baca juga: Memacu Adrenalin Bersama Tim Modifikasi Cuaca Cegah Banjir Jakarta
Dia pun meyakinkan saya bahwa setelah rest area TNGB, jalanan lebih ramai karena melintasi beberapa desa. Saya pun tiba di warung makan di Desa Sopo Tinjak, Kecamatan Batang Natal. Pemilik warung kemudian ”mewawancarai” saya tentang asal dan tujuan saya ke Natal. Entah kenapa, saya ”tidak lulus” dan diminta mencari penginapan di tempat lain.
Saya terpaksa melanjutkan perjalanan dan kemudian tiba di Mes Pemprov Sumut di Desa Muara Soma sekitar pukul 23.00. Beruntung sekali, saya mendapat sebuah kamar di mes itu. Di halaman mes tampak mobil distributor rokok dan mi instan, dua produk dengan jaringan pemasaran terluas di Nusantara. Rasanya, sejauh apa pun perjalanan ke pelosok negeri, selalu bertemu dengan sales rokok dan mi instan.
Tambang emas
Liputan tentang tambang emas rakyat akhirnya bisa saya mulai hari Selasa (12/11/2019) dengan mewawancarai pekerja tambang dan keluarga bayi yang mengalami gastroschisis. Saat melintasi jalan di tepi Sungai Natal, suara mesin dompeng dari tambang emas terdengar bersahut-sahutan.
Saya kemudian berhenti di sebuah tambang emas rakyat di Desa Muara Soma. Sekitar 10 pekerja baru memulai pekerjaan di lubang tambang sedalam 20 meter yang berdiameter 30 meter. Mereka tampak mengangkat batu secara estafet.
Baca juga: Terapi Teh di Perkebunan Teh Jawa Barat
Seorang di antaranya tampak menyemprotkan air yang disedot dari Sungai Natal ke dinding lubang tambang. Air yang sudah bercampur dengan tanah lalu disedot kembali dan dialirkan ke tangga pengayak bertingkat yang telah dilapisi ijuk atau keset kaki plastik. Setelah seharian material ditampung di tangga pengayak, pekerja akan mencari butir-butir emas dari ijuk atau keset kaki itu.
”Untuk lubang tambang berukuran sedang seperti ini, kami biasanya mendapat 8 gram emas setiap hari yang dijual Rp 560.000 per gram,” kata Roni Lubis (40), pekerja tambang.
Hasil penjualan Rp 4,48 juta pun dibagi untuk pemilik mesin 40 persen, pemilik tanah 30 persen, dan pekerja 30 persen. ”Sebagai pekerja, kami mendapat Rp 1,34 juta per hari yang lalu dibagi untuk 10 orang. Hasil ini tidak sebanyak tambang emas yang sudah memakai alat berat,” kata Roni.
Saya kemudian berusaha menggali informasi tentang tambang lebih besar yang disebut Roni. Rupanya, tambang itu berada di belakang permukiman warga. Namun, ia mengingatkan agar berhati-hati saat masuk ke pertambangan itu.
Teringat pesan itu, saya memarkir kendaraan agak jauh dari tempat yang ia maksud karena di mobil tertempel stiker bertuliskan harian Kompas. Saya juga menyimpan telepon seluler dan kamera DSLR di dalam tas.
Setelah melewati gang kecil di antara rumah warga, tampak hamparan lubang tambang emas di lahan seluas tiga kali lapangan sepak bola. Lubang-lubang itu sangat besar.
Baca juga: Mental Ditempa di SEA Games Filipina
Diameternya sekitar 70 meter dengan kedalaman hingga 80 meter. Sebuah alat berat bekerja di dasar lubang dengan ratusan pekerja yang juga tampak beraktivitas di sana.
Saat masuk ke area pertambangan, puluhan pekerja tambang yang sedang beristirahat di sebuah warung kopi serentak memalingkan pandangan ke arah saya. Mungkin karena penampilan saya yang berbeda dengan sebagian besar mereka. Umumnya, mereka memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Diiringi sorot puluhan pasang mata, saya berusaha tetap rileks dan berjalan seperti biasa.
Saya lalu mendekati satu kelompok pekerja yang sedang minum kopi di bawah sebuah pohon. ”Mahasiswa ya, Dek?” tanya seorang pekerja.
Saya pun cepat-cepat mengiyakan pertanyaan tersebut. Saat itu saya harus menyamar demi keselamatan. ”Kadang ada yang menyamar jadi mahasiswa, rupanya wartawan atau aparat,” kata pekerja lainnya menyahut.
Saya pun berupaya mengobrol ringan pria yang menyapa saya. Ia bercerita bahwa menjadi pekerja di pertambangan adalah pilihan terakhir mereka. Sebagian besar adalah petani karet yang beralih menjadi pekerja tambang karena harga karet yang tengah anjlok, dari Rp 20.000 menjadi Rp 5.000 per kilogram, dalam delapan tahun ini.
Dari liputan di pertambangan ini terungkap bahwa lingkungan hidup di Mandailing Natal sudah rusak parah. Lubang tambang menjamur di badan sungai, pinggir sungai, kebun, hingga di dekat permukiman yang berada di Kecamatan Batang Natal, Lingga Bayu, hingga Natal.
Baca juga: Kota Wuhan yang Saya Kenal
Namun, tidak ada pekerja tambang yang mengakui penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida. ”Kemurnian emas di Sungai Natal lebih dari 90 persen. Kami tidak perlu bahan kimia untuk memisahkan emas dari bahan lain,” kata Bustami.
Selain melihat aktivitas tambang emas ilegal, liputan ini juga melihat kehidupan keluarga dari anak yang lahir dengan kelainan gastroschisis, yakni Kartika Lase, yang tinggal di Desa Simpang Durian, Lingga Bayu.
Saya bertemu dengan Sri Rahayu Simanjuntak (20), ibu Kartika. Ketika itu, Kartika sedang dirawat di RSUP Dr Djamil, Kota Padang, Sumatera Barat. Ia meninggal setelah dirawat beberapa hari.
Sri dan keluarganya mengaku mengonsumsi air dari sumur gali yang ada di perumahan perkebunan. Rumahnya hanya berjarak 3-5 kilometer dari lokasi sebuah pertambangan emas dan 10 km dari Sungai Natal. ”Setiap minggu kami pulang ke rumah orangtua yang berjarak 3 kilometer dari Sungai Natal,” ujarnya.
Listrik padam
Listrik padam di pelosok negeri rasanya seperti ”kiamat kecil”. Ketika saya hendak mengirim laporan dari Lingga Bayu, Rabu (13/11) malam, listrik tengah padam. Lingga Bayu berjarak 80 km dari pusat Mandailing Natal.
Baca juga: Nyaris Karam di Kapuas Saat Meliput Daun Ajaib
Telepon seluler tak bersinyal, apalagi sambungan internet. Pemilik warung yang saya singgahi kemudian menyarankan saya pergi ke sebuah bukit di dekat menara operator telekomunikasi.
Benar saja, di sana saya berhasil mendapat sinyal untuk menelepon. Namun, sambungan internet tetap tidak ada. Tidak lama, masuk SMS dari redaksi di Jakarta yang meminta saya untuk segera mengirim berita.
Saya berpikir keras bagaimana caranya agar bisa mengirimkan hasil liputan. Terbetik ide untuk menelepon Rhama Purna Jati, wartawan Kompas di Palembang, Sumatera Selatan.
Melalui sambungan telepon, saya membacakan berita yang sudah saya tulis sebelumnya. Di Palembang, Rhama mengetik berita yang saya bacakan. Selama 34 menit, Rhama berhasil menuliskan berita saya sepanjang 5.500 karakter.
Baca juga: Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
Tulisan itu kemudian terbit 14 November 2019 dengan judul ”Darurat Tambang Ilegal”. Namun, berita itu terpaksa memakai foto yang saya kirim sehari sebelumnya karena saya baru mendapat jaringan internet keesokan paginya. Serangkaian tulisan lainnya tentang tambang liar dan bayi berkelainan sejak itu telah muncul di harian Kompas dan Kompas.id.
Pertambangan ditutup
Bupati Mandailing Natal Dahlan Hasan Nasution menyebutkan, kelahiran bayi-bayi dengan kelainan disebabkan makin maraknya pertambangan emas di Mandailing Natal.
”Kami telah menyusun peta jalan penutupan tambang emas rakyat tanpa izin di Mandailing Natal. Penutupan ini harus dilakukan hati-hati karena menyangkut penghidupan warga,” katanya.
Belakangan, pemerintah pusat yang diwakili Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga turun langsung melihat kondisi pertambangan itu.
Dalam perjalanan pulang ke Kota Medan, saya bertemu dengan Anna Nasution (60). Ia sedang menggali material tambang di tepi sungai dengan batang bambu sepanjang setengah meter.
Baca juga: Kelebat Putih di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Tanah itu lalu dikumpulkan dengan tempurung kelapa dan dimasukkan ke atas dulang. Ia pun berendam di Sungai Natal sambil mendulang emas.
Aktivitas itu sangat kontras dengan pertambangan yang menggali dengan alat berat dan mesin dompeng. ”Saya mendapat 100-150 miligram emas dalam sehari yang dijual seharga Rp 50.000 hingga Rp 80.000,” kata Anna.
Saya pun teringat kemasyhuran emas dari Natal yang telah dikenal selama berabad-abad. William Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra, yang terbit pertama tahun 1783 di London, memuji mutu emas dari Natal.
Akankah tambang emas rakyat dari Natal harus ditutup karena kerakusan manusia yang tidak terkendali atau mungkin saja tambang emas rakyat bisa ditata dan menjadi penghidupan bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan?