Menghalau ”Rimeung Aulia”
”Meriam” memperkuat ikhtiar masyarakat Panton Luas di Aceh Selatan, Aceh, untuk mencegah konflik dengan harimau sumatera atau dalam bahasa setempat dinamakan ”rimeung”. Bagi mereka, ”rimeung” merupakan penjaga kampung.
Berbekal obor dan senter, belasan warga Desa Panton Luas di Kabupaten Aceh Selatan membelah kegelapan malam saat masuk belantara hutan yang mengelilingi desa. Bersama mereka, dibawa pula ”meriam”. Inilah cara baru warga mencegah konflik dengan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Masrita (47) mengambil posisi paling depan. Jemarinya menggenggam erat sebuah ”meriam”. Malam itu, Jumat (24/1/2020), dia memimpin belasan warga masuk ke dalam hutan.
”Dulu mana berani warga masuk hutan kalau terlihat harimau. Semua memilih lekas pulang dari kebun dan berdiam diri di dalam rumah,” kata Masrita, Jumat (24/1/2020).
Beberapa hari sebelum perjalanan masuk ke dalam hutan itu, ada warga yang melihat harimau masuk ke wilayah desa. Tak pelak, perjalanan malam itu pun mengandung risiko bakal diterkam harimau. Namun, demi menjaga keselamatan warga kampung dan harimau itu sendiri, risiko diterkam mereka hadapi.
Sekitar satu jam perjalanan, Masrita melihat tempat yang tepat untuk meledakkan ”meriam” yang mereka bawa. Di bawah pepohonan tinggi dan semak belukar sejauh mata memandang. Dia lantas meminta pemegang obor mengarahkan obor ke arah semak belukar.
”Harimau biasanya bersembunyi di rerimbunan. Jika ceroboh, kita bisa diterkam,” katanya.
Sejurus kemudian, pemegang ”meriam” mulai mendekat. ”Meriam” yang terbentuk dari pipa paralon sepanjang sekitar 1 meter dan dua kaleng susu bekas di dalamnya itu diarahkan ke rerimbunan. Kemudian spiritus dialirkan ke dalamnya lantas sumbu pemicunya dinyalakan, ”Duaaar, duaaar, duaaar.”
Suara hewan bersahut-sahutan. Malam itu, sebanyak 27 tembakan sudah cukup meramaikan suasana hutan. Malam semakin larut, upaya menghalau harimau dirasa sudah cukup. Warga bergegas kembali ke desa.
”Meriam” menjadi cara terbaru masyarakat untuk menghalau harimau sumatera atau dalam bahasa setempat dinamakan rimeung agar tidak masuk ke desa.
Sejak sekitar tahun 2000, rimeung menjadi ancaman bagi masyarakat. Harimau kerap masuk ke areal desa, memakan hewan ternak warga, bahkan pernah menerkam salah seorang warga setempat. Padahal, sebelumnya, tidak pernah ada konflik antara rimeung dan masyarakat.
Menurut sejumlah warga, perubahan perilaku rimeung itu imbas dari rusaknya habitat rimeung.
”Warga menebang hutan untuk menanam nilam. Harga nilam memang bagus, tetapi imbasnya hutan rusak, banjir bandang pernah terjadi, ditambah lagi harimau kehilangan rumahnya. Selain itu, perburuan babi hutan berlebihan sehingga mengurangi makanan harimau. Akibatnya, harimau masuk kampung dan memakan ternak. Kambing dan sapi dimakan,” tutur Bustafa (50), warga Panton Luas lainnya.
Baca juga: Bersahabat Kembali dengan Harimau Sumatera
Berangkat dari ancaman itu, USAID Lestari bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) mengembangkan program Masyarakat Desa Mandiri. Dalam program ini, desa-desa yang memiliki potensi konflik dengan satwa liar dibekali kemampuan mitigasi.
Desa Panton Luas yang menjadi pelintasan harimau sumatera termasuk di dalamnya bersama Desa Namo Buaya dan Batu Napal di Kota Subulussalam, Darussalam (Banda Aceh), Suka Damai (Kabupaten Aceh Besar), Terlis (Kabupaten Gayo Lues), dan Bumbun Indah (Kabupaten Aceh Tenggara).
Cara menghalau rimeung dengan ”meriam” merupakan salah satu bentuk mitigasi. Dengan cara itu, masyarakat tidak perlu kontak langsung dengan harimau yang justru bisa membahayakan masyarakat atau harimau itu sendiri.
Warga Panton Luas sudah dua kali dilatih membuat ”meriam”. Selain itu, mereka dibekali edukasi teknik pencegahan dan penghalauan konflik dengan harimau. ”Masyarakat sempat takut ke kebun. Lalu dibentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) Rimeung Aulia, tetapi belum tahu mitigasinya. Setelah pendampingan, jadi semakin paham mitigasi, termasuk pelaporan saat ada harimau,” kata Kepala Dusun Hulu, Panton Luas, Muhammad Navi.
Baca juga: Antisipasi Penyempitan Habitat Harimau Sumatera
WCS-IP membantu warga agar mampu memitigasi konflik sebelum petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh tiba. Apalagi jumlah petugas yang terbatas dan ketiadaan jaringan telekomunikasi di Panton Luas.
”Meriam” dan bentuk mitigasi lainnya itu memperkuat sejumlah ikhtiar masyarakat mencegah konflik dengan harimau. Sekitar tahun 2000, sejumlah qanun (peraturan) dibuat oleh pemerintah desa untuk memulihkan habitat harimau. Qanun itu di antaranya berisi larangan menebang kayu sembarangan, membakar lahan, meracuni ikan di sungai, dan berburu hewan liar di hutan.
Bagi mereka yang melanggar qanun diancam denda berkisar Rp 1,5 juta-Rp 3 juta, atau denda berupa seekor kambing.
”Setelah qanun dibuat, ada warga yang masih bandel. Begitu ketahuan, langsung didenda. Hal itu cukup efektif membuat warga tidak sembarangan ketika berkebun atau bekerja,” ujar Kepala Lembaga Musyawarah Desa Nasrudin.
Jauh sebelum qanun dibuat, leluhur Panton Luas sudah mempunyai cara untuk menghalau harimau. Cara-cara itu kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya hingga kini.
Ketika kontak langsung dengan rimeung, misalnya, cukup menggunakan batang kayu. Batang kayu diayun-ayunkan di depan rimeung sambil perlahan berjalan mundur. Jangan sekali-kali membelakangi rimeung saat melakukan hal itu.
Cara lain ialah dalam bentuk pantangan-pantangan saat pergi ke kebun. Di antaranya, tidak pergi ke kebun seorang diri, tidak kembali ke tempat harimau sempat terlihat, pintu atau lantai pondok di kebun yang tidak ditutup rapat sehingga diyakini mengundang ”penasaran” harimau, dan tidak menyalakan api saat di kebun. ”Asap dari api di kebun menandakan ada orang bekerja,” ujar Navi.
Satu cara lainnya dalam bentuk ritual atau dikenal perjanjian bak kala. Salah satu yang masih mempraktikannya yaitu Carwani Sabi (82), pawang harimau BKSDA Aceh. Dalam ritual ini digunakan tanaman kecombrang.
Baca juga: Proteksi Kawasan untuk Lindungi Satwa
Ritual diawali dengan membakar ranting dan kayu. Kemudian digali lubang sedalam 30 sentimeter. Lantas Carwani mengambil kayu bakar. Di atas kayu ditaburi kemenyan, sembari membaca doa. Selanjutnya, kecombrang dimasukkan ke lubang untuk ditanam. Kecombrang tidak boleh dicabut karena menandakan telah terjalin perjanjian manusia dengan harimau.
”Harimau bisa mengerti bahasa manusia. Kecombrang jadi tanda bahwa harimau boleh melintas asal jangan mengganggu warga. Selain itu, masyarakat juga tidak boleh masuk ke area sekitar kecombrang,” tutur Carwani.
Di antara cara-cara tradisional yang ada, tak ada satu pun cara kekerasan, apalagi sampai membunuh hewan liar yang terancam punah tersebut. Cara-cara modern, termasuk dengan ”meriam”, masyarakat desa adopsi karena selaras dengan cara leluhur mereka yang prinsipnya menjauhkan masyarakat dari ancaman diterkam harimau, tetapi di sisi lain harimau dihalau tanpa dengan kekerasan, apalagi membunuhnya.
Sebab, bagi mereka, harimau adalah rimeung aulia (tuan harimau) penjaga kampung. ”Oleh karena itu, selama ini, sekalipun harimau terlihat memakan hewan ternak, masyarakat tidak akan membunuhnya. Masyarakat diam saja di dalam rumah sampai harimau itu pergi,” tutur Masrita.
Terancam
USAID Lestari mencatat, terjadi 281 konflik manusia dan harimau di Aceh sejak 2008 hingga Juni 2019. Konflik terjadi seiring kerusakan hutan. Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh mencatat, luas tutupan hutan di Aceh menyusut 553.576 hektar akibat perambahan hingga tersisa tiga juta hektar.
Di wilayah Aceh Selatan terjadi perambahan hutan di rawa gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Desa Ladang Rimba, Trumon Timur, seluas 68 hektar dan di Desa Ie Meudama, Trumon Tengah, lebih dari 6 hektar.
Adapun Monitoring Forum Konservasi Leuser menemukan 2.418 kasus pembalakan liar, 1.838 kasus perambahan, dan 108 kasus pembukaan akses jalan. Pembalakan liar terbanyak terjadi di Aceh Selatan (473 kasus), kemudian Aceh Timur (437 kasus), dan Aceh Tamiang (377 kasus).
Sementara populasi harimau sumatera, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser memperkirakan saat ini tinggal sekitar 50 harimau yang hidup di kawasan Leuser. Enam di antaranya terpantau oleh pos pantau di Pegunungan Bendahara, perbatasan Langkat dan Aceh Tenggara. Khusus area Panton Luas, diperkirakan ada empat harimau. Keberadaan mereka terekam oleh kamera jebakan yang dipasang pada perbukitan dan kebun warga.
Baca juga: Kepunahan Harimau Sumatera di Depan Mata
Konflik manusia dan satwa liar terjadi karena pesatnya pembangunan dan kegiatan ekonomi. Menurut Terrestrial Biodiversity Sector Lead Environment Office USAID Indonesia Amin Budiarjo, harus dicari jalan tengah agar kegiatan ekonomi masyarakat tetap berjalan tanpa mengganggu habitat satwa liar.
”Oleh karena itu, selain pelatihan mitigasi, warga didorong untuk mengelola lahan dengan bijak. Misalnya, menghijaukan lahan dengan tanaman buah-buahan atau pengembangan ekowisata dan potensi desa,” ujar Amin.
Baca juga: Pemulihan Lahan Kritis Kurangi Potensi Serangan Harimau
Khusus Desa Panton Luas, diarahkan agar dapat memanfaatkan dana desa. Kemudian, memaksimalkan potensi durian untuk wisata dan penghijauan area lereng. Kepala Dusun Hilir, Panton Luas, Arifin pun telah merencanakan penghijauan di sepanjang area mata air dengan sengon, mahoni, dan pohon buah-buahan, tahun ini.
Pekerjaan rumah belum tuntas. Masyarakat Desa Mandiri hanya satu dari sekian upaya untuk menyelaraskan kepentingan manusia dengan keberlanjutan ekosistem. Untuk itu, perlu keseriusan dan keterlibatan semua pihak agar upaya yang sudah ada dapat berlanjut.