Monumen ”Ibu Pemersatu Bangsa” Diresmikan di Bengkulu
Presiden Joko Widodo meresmikan Monumen Pahlawan Nasional Ibu Agung Hajah Fatmawati Soekarno di awasan Simpang Lima, Kota Bengkulu, Rabu (5/2/2020). Monumen ini menjadi lambang penghormatan bangsa terhadap Fatmawati.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
BENGKULU, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meresmikan Monumen Pahlawan Nasional Ibu Agung Hajah Fatmawati Soekarno di kawasan Simpang Lima, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Rabu (5/2/2020). Monumen ini menjadi lambang penghormatan bangsa Indonesia kepada Ibu Fatmawati yang turut berperan dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Waktu peresmian ini bersamaan dengan hari kelahiran Fatmawati. Hadir dalam acara tersebut anak dari Fatmawati, yakni Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, dan cucunya sekaligus Ketua DPR Puan Maharani. Hadir juga dalam peresmian tersebut sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju.
Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan monumen ini sebagai penanda dan bukti hormat bangsa Indonesia terhadap perjuangan Ibu Fatmawati. ”Ibu Fatmawati bukan hanya ibu dari masyarakat Bengkulu, melainkan juga Ibunya seluruh rakyat Indonesia,” kata Presiden.
Monumen ini memperlihatkan sosok Ibu Fatmawati yang sedang menjahit bendera dengan menggunakan mesin jahit. Monumen yang dipahat oleh pematung I Nyoman Nuarta ini terlihat sangat anggun dan megah dengan kucuran air mancur di sekelilingnya.
Presiden mengatakan, Ibu Fatmawati selalu dikenang karena memiliki visi dengan pandangan jauh ke depan. Karena jasa Ibu Fatmawati, Indonesia memiliki bendera pusaka Merah Putih yang dijahit dengan tangannya sendiri. ”Bendera itu sudah dipersiapkan sebelum kemerdekaan,” katanya.
Tidak hanya itu, peran Ibu Fatmawati sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama juga tak kalah penting. Dia selalu setia mendukung perjuangan Presiden Soekarno.
Fatmawati juga memberi keteladanan tentang pengorbanan dan selalu menekankan pentingnya menjaga semangat dan mimpi di tengah keterbatasan.
Fatmawati juga memberi keteladanan tentang pengorbanan dan selalu menekankan pentingnya menjaga semangat dan mimpi di tengah keterbatasan. ”Monumen ini menjadi penanda bukti hormat kita atas perjuangan Ibu Fatmawati,” kata Presiden.
Selain itu, monumen ini diharapkan dapat mengingatkan anak-anak bangsa dan generasi penerus untuk meneladani sikap kenegarawanan Ibu Fatmawati, serta memotivasi bangkitnya sikap kepahlawanan dan rela berkorban untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Presiden pun berpesan kepada masyarakat Bengkulu untuk menjaga monumen ini agar tidak rusak dan merawatnya agar tidak lekang oleh waktu. ”Sama seperti semangat Ibu Fatmawati yang tidak pernah pudar sampai sekarang,” katanya.
Salah satu putri Fatmawati, Sukmawati Soekarnoputri, yang hadir dalam acara tersebut, mengungkapkan, pertemuan kedua orangtuanya terjadi pada periode 1938-1942 saat Sang Proklamator diasingkan di Bengkulu. Saat itu, Soekarno bertemu dengan gadis cantik bernama Fatmawati.
Gadis itu adalah putri dari Ketua Muhammadiyah Bengkulu saat itu, Hasan Din. Kebetulan Hasan Din juga mengagumi sosok Bung Karno sebagai pemimpin bangsa. ”Jatuh cintalah Bung Karno kepada Fatmawati,” kata Sukmawati.
Soekarno pun meminang Fatmawati ketika tentara Jepang menduduki Indonesia. Saat itu, Bung Karno sudah kembali ke Jakarta. Namun sebelum pindah ke Jakarta, Bung Karno rupanya telah berpesan kepada Hasan Din untuk tidak menikahkan Fatmawati kepada pemuda mana pun.
”Jangan dikasih kepada siapa-siapa. Fat (Fatmawati) adalah takdir untuk saya persunting. Sejak saat itu, Hasan Din tidak berani memberikan kepada pemuda lain,” kata Sukmawati menyampaikan pesan ayahnya tersebut.
Menjelang 1945, kata Sukmawati, Soekarno juga memberikan tugas kepada Fatmawati untuk menjahit kain Merah Putih yang dia minta dari Jepang. ”Saat itu Ibu Fatmawati sedang mengandung kakak saya Guntur,” katanya.
Akhirnya, bendera yang dijahit oleh Fatmawati pun menjadi bendera yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan. Bendera itu berkibar dengan diiringi lagu ”Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman.
Pada Agresi Militer II, saat tentara Belanda kembali menyerang Yogyakarta tahun 1948, Bung Karno menitipkan bendera pusaka Merah Putih jahitan Ibu Fatmawati kepada seorang musisi, yakni Husein Muktahar. ”Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” kata Sukmawati menirukan ucapan ayahnya tersebut.
Setelah kondisi aman, Muktahar mengembalikan bendera ini kepada Soekarno. ”Aku sudah menjaga bendera ini dengan aman saatnya aku mengembalikan bendera ini,” kata Sukmawati menirukan Muktahar.
Saat kepemimpinan Presiden Soeharto, bendera pusaka dibawa oleh Soekarno. Namun, Presiden Soeharto mengirim utusannya untuk mengambil bendera pusaka untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1967.
Karena kondisi bendera yang sudah lapuk dan mudah rusak, akhirnya pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bendera pusaka itu disimpan di Museum Nasional. Menurut Sukmawati, bendera Merah Putih ada karena pengorbanan para pahlawan. Untuk itu, keberadaannya harus dianggap sakral, keramat, dan terus dijunjung tinggi.
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan, monumen ini diharapkan menjadi penggugah semangat bagi masyarakat untuk meneladani perjuangan Ibu Fatmawati yang turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia.
”Semoga semangat Ibu Fatmawati selalu tumbuh dan berkembang di hati rakyat Indonesia sehingga mau berperan dalam meneruskan pembangunan di berbagai bidang,” katanya.