Langkah memulangkan 660 warga negara Indonesia eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS dari Timur Tengah untuk kembali ke Tanah Air merupakan tantangan luar biasa.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Langkah memulangkan 660 warga negara Indonesia eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS dari Timur Tengah untuk kembali ke Tanah Air merupakan tantangan luar biasa. Indonesia harus mempunyai langkah-langkah persiapan maksimal karena mereka sudah terpapar radikalisme.
Hal itu dikatakan Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi seusai memberikan kursus singkat Penguatan Perspektif Korban dalam Liputan Isu Terorisme kepada awak media di Malang, Jawa Timur, Selasa (5/2/2020). Kursus diikuti sekitar 30 awak media cetak, elektroknik, dan online, 4-5 Januari.
”Pertanyaannya, menurut saya, bukan perlu atau tidak (memulangkan mereka). Kalau perlu atau tidak? Menurut saya tidak perlu. Akan tetapi, kalau pertanyaannya soal ketentuan undang-undang (UU) dan kemanusiaan, itu menurut saya yang harus kita kedepankan,” katanya.
Kekhawatiran terbesar atas kebijakan pemulangan mereka, menurut Hasibullah, karena mereka sudah terpapar radikalisme parah, terlatih, dan memiliki semangat tempur tinggi. Oleh karena itu, kesiapan menjadi penting dan lebih dari saat menghadapi wabah virus korona. Mereka harus dikarantina lebih ketat daripada WNI yang kembali dari daerah sumber korona.
Minimal yang dibutuhkan adalah profiling yang jelas, meliputi siapa saja mereka? Sejauh mana tingkat keterpaparannya? Motifnya apa? Dan lokasi penempatan mereka nantinya di mana? Tentunya ada pertimbangan khusus untuk memilih lokasi penempatan.
Meskipun demikian, pihaknya optimistis. Berdasarkan pengalaman di lapangan, sebenarnya Indonesia bisa memiliki tim untuk menghadapi ini. Perangkatnya sudah ada untuk melakukan deradikalisasi. Tinggal mengoordinasikan satu sama lain agar tidak jalan sendiri-sendiri.
”Minimal yang dibutuhkan adalah profiling yang jelas, meliputi siapa saja mereka? Sejauh mana tingkat keterpaparannya? Motifnya apa? Dan lokasi penempatan mereka nantinya di mana? Tentunya ada pertimbangan khusus untuk memilih lokasi penempatan,” tuturnya.
Menurut Hasibullah, mereka yang bergabung dengan NIIS tidak secara otomatis gugur kewarganegaraannya. UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan, seseorang bukan lagi WNI jika mereka sudah menjadi bagian dari warga negara asing. Sementara sejauh ini tidak ada satu pun negara di dunia yang mengakui NIIS sebagai negara.
Sementara itu, korban terorisme menilai, sebaiknya mereka tidak dipulangkan. Christian Salomo (44), korban bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004, mengatakan, dirinya tidak setuju. Alasanya, mereka sudah keluar negeri dan bergabung dengan kelompok militan.
Sudah terkontaminasi
”Kalaupun mau dipilah, meskipun prosesnya panjang dan sulit, dilihat seberapa jauh mereka sudah terkontaminasi. Apakah sudah lama di sana atau baru datang,” ujarnya. Menurut Christian—tidak ada kaitannya dengan agama—tetapi bagaimana bisa menjamin bahwa orang eks-NIIS tadi tidak melakukan tindakan radikal selama di Tanah Air nantinya.
Desmonda Paramarta (21), korban bom gereja di Surabaya pada 2018, berpendapat, sebelum dipulangkan agar mereka dicuci otak lebih dulu agar pemahamannya tentang tindakan radikal berubah menjadi positif.
Pendapat senada dikatakan mantan pelaku terorisme yang kini menjadi Tim Perdamaian AIDA, Choirul Ihwan (39). Ia mengatakan, secara kemanusiaan, mereka memang kasihan, perlu dipulangkan dan dibina. Namun, dengan catatan sangat ketat. Sebab, pemikiran mereka, doktrin yang mereka serap dari pemikiran NIIS sudah sangat dalam.
”Penangannya kita harus siapkan tidak seperti biasanya. Pemerintah harus benar-benar punya ’senjata’ yang diyakini bisa mengubah sikap mereka. Kalau belum punya ’senjata’ yang mampu mengubah itu semua, sebaiknya jangan dipulangkan dulu,” katanya. Menurut Choirul, selama ini pelatihan menghadapi terorisme dari pemerintah, yang ia ketahui, masih kurang sehingga tidak benar-benar memahami radikalisme.