Daerah Rawan Tsunami Kembali Ramai, Mitigasi Masih Rapuh
Setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami melanda Provinsi Aceh, kawasan yang pernah hancur kini penduduknya semakin ramai. Para korban dan pendatang kembali tinggal di daerah bekas terdampak tsunami.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh, kawasan yang pernah hancur kini penduduknya semakin ramai. Para korban dan pendatang kembali tinggal di daerah bekas terdampak tsunami. Hal ini diperburuk dengan belum memadainya pendidikan mitigasi bencana belum memadai.
Desa Tibang dan Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh paling parah mengalami kerusakan saat tsunami 26 Desember 2004. Lebih separuh warga desa ini meninggal dunia. Sementara rumah warga semua lenyap dilumat gelombang.
Namun, dua tahun setelah tsunami, warga Tibang dan Alue Naga yang selamat dari tsunami bersikeras untuk kembali ke desa. Alasannya sebagai nelayan mereka tidak bisa hidup jauh dari laut. Dua ini berada di tepi pantai Banda Aceh.
Zainuddin (46) warga Tibang, korban tsunami, menolak saat akan direlokasi ke desa yang jauh dari laut. Padahal saat tsunami 2004, Zainuddin nyaris meninggal setelah dideret ombak sejauh empat kilometer. Istri, anak, dan ibunya meninggal hingga kini jenazahnya tidak ditemukan.
“Karena sudah mengalami (korban) saya tidak takut lagi,” kata Zainuddin ditemui di rumahnya, pada Selasa (28/1/2020).
Zainuddin mendapatkan rumah bantuan dari lembaga donor, ukuran tipe 36. Rumah itu dibangun di atas tapak rumah lama yang jarak dari pantai haya 100 meter. Suara debur ombak nyaring terdengar saat berada di rumah itu.
Beberapa tahun usai tsunami Zainuddi membuka usaha mengolah ikan tongkol menjadi ikan kayu (keumamah). “Kamoe ureung laot, raseuki na di laot (kami orang laut, sumber pendapatan dari laut),” ujar Zainuddin.
Zainuddin sadar tinggal di zona bahaya tsunami. Meski demikian, dia tidak tertarik mengikuti simulasi bencana dan memperbanyak wawasan tentang bencana. Dia hanya belajar dari pengalaman bencana 2004, jika terjadi gempa dia akan segera menjauh dari laut.
Warga Desa Alue Naga, Juniati (43), juga nyaris meninggal saat tsunami 2004. Dia tidak tahu harus menyelamatkan diri ke mana saat melihat gelombang raksasa mendekati perkampungan. Juniati tergulung ombak sejauh sekitar lima kilometer.
Pada 2006, Juniati bersama warga lain kembali ke Alue Naga. Warga Alue Naga menolak relokasi. “Saya lahir di sini, tidak mungkin meninggalkan kampung. Adak kiban-kiban, nyoe gampong kamoe (bagaimana pun ini kampung kami) kata Juniati.
Selama kembali ke Alue Naga, dia belum pernah mengikuti simulasi dan pendidikan mitigasi bencana. Pemerintah telah membuat jalur evakuasi, namun dia tidak pernah mencoba evakuasi mandiri. “Kalau lari pasti kalah dengan (kecepatan) tsunami, kecuali kita pakai sepeda motor,” kata Juniati.
Desa Tibang dan Alue Naga tidak memiliki tempat evakuasi sementara. Satu-satunya gedung bertingkat dua yang bisa digunakan untuk tempat evakuasi adalah sekolah dasar. Namun, dengan jumlah penduduk mencapai 2.000 jiwa bangunan itu tidak akan memadai.
Sementara jalur evakuasi untuk mencapai titik aman mencapai empat kilometer. Warga akan sulit keluar dari zona bahaya dalam waktu 20 menit golden time (waktu emas) usai gempa. Apalagi, belakangan tsunami terjadi dengan durasi waktu kian pendek setelah gempa.
Setiap peringatan gempa dan tsunami, pemerintah dan komunitas menggelar simulasi tsunami. Namun, belum semua desa di kawasan rawan menggelar simulasi. Di sisi lain, simulasi digelar seperti kegiatan seremonial.
Dosen Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Nazli Ismail mengkritik pola simulasi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Simulasi tidak menghadirkan kondisi seperti bencana sebenarnya, sehingga simulasi tidak pernah melahirkan rekomendasi untuk perbaikan mitigasi.
“Orang hanya lari-lari sambil tertawa. Seharusnya peserta mencatat berapa waktu yang dia butuhkan untuk mencapai zona aman,” kata Nazli.
Menurut Nazli, ketahanan mitigasi bencana di wilayah pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar masih rapuh. Seharusnya pemerintah menguatkan mitigasi melalui pendidikan kebencanaan. Namun, rancangan qanun/perda pendidikan kebencanaan sejak 2017 hingga 2020 belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Bangun kesadaran
Pada saat proses rehabilitasi dan rekontruksi 2005-2009, pemerintah telah gagal merelokasi warga dari zona bahaya tsunami. Saat itu, ada rencana 500 meter dari pantai akan dijadikan zona bebas dari permukiman, namun muncul penolakan dari warga. Para korban bersikeras untuk kembali ke kawasan rawan.
Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh – Nias terpaksa membangun rumah warga di tapak-tapak rumah yang lenyap ditelan tsunami. Belakangan, pertumbuhan perumahan di zona rawan semakin pesat.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman menuturkan dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Banda Aceh Tahun 2009-2029 telah diatur kawasan rawan bencana. Dari sembilan kecamatan, ada lima kecamatan memiliki risiko tinggi yakni Meuraksa, Syiah Kuala, Kuta Alam, Kuta Raja, dan Jaya Baru.
Pada kawasan tersebut diperbanyak program pendidikan mitigasi dan membangun infrastruktur mitigasi bencana. “Simulasi evakuasi sering digelar di desa-desa yang rawan. Kami juga mendorong komunitas dan pihak swasta menggelar simulasi,” kata Aminullah.
Banda Aceh memiliki lima gedung untuk evakuasi warga dari bencana tsunami. Tahun ini satu gedung penyelamatan akan dibangun di Desa Alue Naga. Pemerintah kota mendorong para pihak bergerak secara mandiri membangun budaya sadar bencana.
Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengatakan dalam kondisi sekarang tidak mungkin melarang warga membangun rumah di tanah mereka yang sebenarnya masuk dalam zona bahaya tsunami. Namun, yang dilakukan oleh pemerintah menguatkan kesiapsiagaan bencana.
Program keluarga tangguh bencana (katana) yang diluncurkan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar pada 7 Desember 2019 salah satu strategi menyiapkan generasi yang tanguh bencana. “Selain membangun tempat-tempat penyelamatan, kesadaran warga terhadap bencana harus dipupuk sejak dini,” ujar Mawardi.