Infrastruktur Pengendali Banjir di Bandung Belum Optimal
Pemerintah telah membangun sejumlah infrastruktur untuk mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, Jawa Barat. Namun, infrastruktur tersebut belum optimal mengurangi dampak banjir.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Kendati sejumlah infrastruktur seperti kolam retensi, terowongan air, dan tol air telah dibangun untuk mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, Jawa Barat, tetapi banjir besar tiga hari terakhir tetap terjadi. Hal ini mengindikasikan infrastruktur tersebut belum optimal mengurangi dampak banjir.
Banjir merendam ribuan rumah di Kecamatan Bojongsoang, Baleendah, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Rancaekek di Kabupaten Bandung serta Kecamatan Gedebage di Kota Bandung, Minggu (26/1/2020). Banjir juga menggenangi sejumlah ruas jalan, di antaranya Jalan Raya Sapan, Jalan Raya Banjaran, Jalan Raya Dayeuhkolot, Jalan Andir-Katapang, dan Jalan Anggadireja.
Banjir disebabkan hujan lebat yang mengguyur Bandung pada Kamis, Jumat, dan Sabtu. Durasi hujan lebih dari tiga jam per hari.
Sejumlah infrastruktur pengendali banjir, seperti kolam retensi Cieunteung dan terowongan air Nanjung di Curug Jompong belum mampu menampung air luapan Sungai Citarum dan anak-anak sungainya, di antaranya Cisangkuy, Cikapundung, Citarik, dan Cikeruh.
“Infrastruktur untuk mengatasi banjir sudah sering digembar-gemborkan. Namun, banjir besar masih tetap terjadi,” ujar Arman (40), warga Tegalluar, Bojongsoang.
Banjir di Tegalluar terjadi sejak Kamis (23/1) sore dengan ketinggian 50 sentimeter. Hujan lebat pada Jumat (24/1) dan Sabtu (25/1) membuat ketinggian banjir bertambah hingga 1,5 meter.
Arman mengatakan, sebelum musim hujan tiba, pemerintah telah mengeruk Sungai Citarik dan Cikeruh. Namun, upaya tersebut tetap belum mampu mengatasi banjir di wilayah itu.
Pemerintah telah mengoperasikan terowongan air Nanjung sejak akhir 2019. Dua terowongan dengan panjang 230 meter dan berdiameter delapan meter berfungsi memperlancar aliran air Citarum ke Waduk Saguling sehingga diharapkan membuat genangan banjir cepat surut.
Kolam retensi di Cieunteung, Baleendah, juga sudah difungsikan sejak 2018. Namun, kolam seluas 8,7 hektar itu belum bisa menampung luapan Citarum di kawasan Bandung selatan. Apalagi elevasi sejumlah permukiman lebih rendah dari permukaan Citarum.
Sejumlah infrastruktur pengendali banjir, seperti kolam retensi Cieunteung dan terowongan air Nanjung di Curug Jompong belum mampu menampung air luapan Sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
Salah satu wilayah yang paling parah terdampak banjir adalah Kampung Bojongasih, Dayeuhkolot. Ketinggian banjir di kampung itu mencapai 1,6 meter. Warga harus menggunakan perahu untuk beraktivitas.
Asep Solihin (35), warga Dayeuhkolot, juga mengeluhkan infrastruktur pengendali banjir yang belum berdampak maksimal. Namun, dia mengakui, banjir lebih cepat surut dibandingkan tahun sebelumnya.
“Jika tidak hujan berturut-turut, banjir surut dalam 3-5 jam. Kalau dahulu surutnya bisa sampai satu hari. Persoalannya, di sini hujan hampir setiap hari,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, salah satu infastruktur yang berfungsi untuk mengurangi banjir di Bandung selatan adalah sodetan Cisangkuy. Sodetan tersebut ditargetkan rampung pada Oktober 2020.
Pemerintah tahun ini juga akan membangun kolam retensi di Andir, Baleendah. Kolam retensi seluas 4,8 hektar diharapkan membantu fungsi kolam retensi Cieunteung untuk menampung air luapan Citarum di Bandung selatan.
Hingga Minggu malam, banjir belum surut. Lalu lintas di sejumlah ruas jalan, seperti Jalan Raya Sapan dan Jalan Andir-Katapang lumpuh karena tergenang hingga ketinggian 1,2 meter.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Enjang Wahyudin mengatakan, lebih dari 600 orang mengungsi akibat banjir itu. Warga mengungsi ke rumah kerabat, kantor pemerintahan, dan rumah ibadah.