Surabaya Tak Akan Lagi Sama
Pemungutan suara untuk mencari Wali Kota Surabaya mendatang tersisa delapan bulan. Para calon bermunculan, tetapi tak banyak yang telah mendapat rekomendasi partai politik mendaftar. Pertarungan masih berjalan.
Masa jabatan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tersisa 13 bulan. Saatnya warga Ibu Kota Jawa Timur ini bersiap ”move on” atau berpaling ke calon pemimpin baru.
Salah satu tahap untuk mengganti ”adipati curabhaya” ini berlangsung melalui pemungutan suara serentak pada 23 September 2020 yang bersamaan dengan 18 kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur.
Dengan 19 kabupaten/kota pelaksana pemungutan suara, Jawa Timur berada di belakang Jawa Tengah (21 kabupaten/kota) dan Sumatera Utara (23 kabupaten/kota) sebagai penyelenggara pilkada serentak 2020 terbanyak se-Nusantara. Tahun ini, pilkada serentak berlangsung di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.
Dengan demikian, masih ada waktu sekitar delapan bulan ke pemungutan suara. Tidak heran, saat ini, sejumlah calon sudah bermunculan dan menyapa ”arek Suroboyo”, sebutan generik bagi lebih kurang 3 juta jiwa warga kota berpenduduk terbanyak urutan kedua di Indonesia atau setelah Kota Administratif Jakarta Timur, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri 2015.
Baca juga: Mengusik Gerak Gerobak Politik di Jawa Timur
Di banyak lokasi—tepi sungai, pinggir jalan, trotoar, jembatan layang, dinding bangunan, dan reklame, terpampang poster bahkan baliho berisi foto dan tekat para kandidat. Di jagad media massa, seperti koran, majalah, tabloid, radio, televisi, internet, bahkan media sosial, antara lain Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan Youtube, tim sukses cukup aktif memperkenalkan calon yang diusungnya.
Secara subyektif, keberadaan pariwara para kandidat kurang menarik bahkan mengganggu pemandangan. Namun, sejatinya, warga juga harus menyadari bahwa penggantian kepemimpinan tidak terhindarkan. Risma telah menjalani dua periode pemerintahan. Dengan segala keunggulan dan catatan, konstitusi tidak menginginkan masa jabatan kepala daerah—gubernur, wali kota, dan bupati, lebih dari dua periode atau maksimal sedasawarsa. Jadi, bersiaplah untuk berpaling.
Kandidat
Sampai dengan Sabtu (18/1/2020), bisa dibilang calon wali kota lebih dari 20 orang. Dari jalur independen baru sepasang yang secara resmi mengumumkan kepada publik, yakni pengacara M Sholeh dan Ketua Dewan Kesenian Jatim Taufik ”Monyong” Hidayat.
Jalur lain, yakni partai politik, calonnya tentu banyak. Namun, ingat, sampai tulisan ini dibuat, baru satu orang yang secara resmi diumumkan oleh partai politik mendapatkan rekomendasi untuk mendaftar sebagai calon wali kota. Sosok tersebut adalah mantan Kepala Polda Jatim sekaligus mantan Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Jatim Machfud Arifin yang memegang restu dari Partai Amanat Nasional.
”Rekomendasi ini menjadi energi positif bagi saya untuk berkoalisi,” kata Machfud.
Meski sudah mendapat lampu hijau dari PAN, modal Machfud untuk maju ke pertarungan belum cukup. PAN hanya memiliki tiga kursi dari 50 kursi DPRD Kota Surabaya. Machfud dan PAN harus berkoalisi untuk mendapatkan setidaknya tujuh kursi lagi sehingga terpenuhi syarat untuk mendaftar sebagai kandidat, yakni 20 persen dari 50 kursi legislatif atau 10 kursi. Bisa juga 25 persen dari suara sah dalam Pemilihan Umum 2019. Syarat suara sah tampaknya lebih sulit dicapai dibandingkan dengan mencari kursi tambahan melalui koalisi.
Menurut hasil pemilu tahun lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi pemenang dengan mendapat 15 kursi. Selanjutnya ialah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golongan Karya yang masing-masing lima kursi. Partai Demokrat dan Partai Solidaritas Indonesia masing-masing empat kursi. PAN bersama dengan Partai Nasional Demokrat dengan tiga kursi. Partai Persatuan Pembangunan yang terakhir dengan satu kursi.
Baca juga : PDI-P Targetkan Kembali Jadi Pemenang Pemilu dan Pilkada Serentak
Dari hasil itu, hanya PDI-P yang bisa mengusung calon tanpa koalisi. Sejumlah nama telah dikaitkan dengan ”Banteng Moncong Putih”. Dari pejabat teras pemerintahan, ada Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya Ery Cahyadi. Dari politikus ada Armuji, anggota DPRD Jatim yang juga mantan Ketua DPRD Kota Surabaya; Ketua Fraksi PDI-P DPRD Kota Surabaya Baktiono; dan anggota DPRD Kota Surabaya, Dyah Katarina, yang juga istri mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono. Selain itu, muncul nama Puti Guntur Soekarno, cucu Presiden pertama Soekarno, yang kini anggota DPR dan pada Pilgub Jatim 2018 merupakan calon wakil gubernur berpasangan dengan Saifullah Yusuf.
Di PDI-P, nama-nama memang banyak, tetapi belum satu pun yang mendapat rekomendasi dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ketua PDI-P Kota Surabaya Adi Sutarwiyono mengatakan, sebelumnya ada penjaringan nama-nama di tingkat kelurahan sampai kota. Namun, rekomendasi merupakan hak mutlak ketua umum. ”Rekomendasi belum turun,” ujarnya.
Ketua Gerindra Jatim Soepriyatno mengatakan, dari 18 nama, terpilih empat sosok yang diusulkan ke dewan pengurus pusat sebagai calon pemimpin Surabaya. Nama Machfud Arifin ada di sini. Selain itu, pengelola pondok pesantren Zahrul Azhar Asad; dokter dari Malang, Gamal Albinsaid; dan pengacara sekaligus pengusaha restoran, Hariyanto.
Wakil Sekretaris PKB Jatim Fauzan Puadi mengungkapkan, partai ini mengusulkan kepada pusat agar memberi rekomendasi kepada Machfud Arifin. Namun, apakah PKB yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar akan memenuhi permintaan pengurus provinsi memang belum ada jawabannya.
Baca juga: Pasangan Calon di Kota Surabaya Saling Menguji
Bagaimana dengan PKS? Ketua PKS Kota Surabaya Akhmad Suyanto mengungkapkan, dari partainya didorong lima nama yang seluruhnya kader. Selain dirinya, ada anggota DPR Sigit Sosiantomo, pengurus PKS Jatim Achmad Zakaria dan Ahmad Jabir, dan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti. Kelima nama ini merupakan hasil penyaringan dari sebelumnya 10 nama dalam penjaringan aspirasi internal.
Dari Demokrat, Golkar, PSI, Nasdem, dan PPP juga belum mengerucut ke satu nama. Mereka masih menjalani proses internal seperti penjaringan, bahkan konvensi. Yang terang, partai-partai ini, kecuali PDI-P, harus berkoalisi untuk bisa mengusung kandidat ke arena pemilihan Wali Kota Surabaya.
Konfigurasi
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya Nur Syamsi mengatakan, menurut regulasi, partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon untuk memenuhi akumulasi 20 persen kursi legislatif kota (artinya 10 dari 50) atau 25 persen dari suara sah pada pemilu. Untuk calon independen harus mendapat dukungan 6,5 persen dari jumlah daftar pemilih tetap.
DPT Kota Surabaya pada pemilu tahun lalu 2,1 juta jiwa. Untuk itu, calon independen harus mendapatkan setidaknya 136.000 bukti dukungan berupa foto kopi kartu tanda penduduk warga Kota Surabaya.
Menurut Syamsi, ada perubahan dalam regulasi penetapan pemenang pilkada. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kontestasi tidak mengenal dua putaran. Pasangan calon yang meraih suara terbanyak adalah pemenang pilkada
Peneliti utama Surabaya Survey Center, Surokim Abdussalam, mengatakan, jika dilihat dari jumlah kursi di DPRD, di atas kertas dari jalur partai politik bisa didapat empat pasangan calon. Dari jalur independen yang sudah deklarasi baru satu. Ditambah kandidat dari PDI-P, pilkada Surabaya bisa diikuti oleh lima-enam pasang kandidat.
”Namun, koalisi juga melihat kedekatan antarpartai,” ujar Surokim. Bisa jadi partai-partai yang ”mesra” dengan PDI-P lebih memilih berkoalisi dengan ”Banteng Moncong Putih” ketimbang bertarung. Partai-partai yang menjadi oposisi PDI-P kemungkinan besar membentuk poros sendiri.
Surokim berharap pasangan kandidat yang akan dipilih nantinya bisa lebih dari tiga atau empat atau lebih banyak lagi. Banyaknya pilihan akan bermanfaat bagi masyarakat untuk mencari sosok terbaik dan pantas sebagai pengganti Risma.
Minimal wali kota yang baru nanti mempertahankan apa yang sudah dikerjakan dan dibangun Bu Risma selama ini.
Masalahnya, bagi kalangan arek Suroboyo, mungkin sulit mendapat sosok yang seandal perempuan pertama Wali Kota Surabaya itu. Risma dipandang tangguh dan mampu memberi banyak sentuhan positif dalam penataan wajah ”Kota Pahlawan” sejak menjadi kepala dinas kebersihan dan pertamanan pada 2005.
”Minimal wali kota yang baru nanti mempertahankan apa yang sudah dikerjakan dan dibangun Bu Risma selama ini,” kata Tito Erlangga (24), warga Wiyung. Bagi dirinya, sosok wali kota sebaiknya berasal dari birokrat seperti Risma yang diyakini paham budaya dan kerja aparaturnya.