Konflik di Kinipan Tak Kunjung Usai, Warga Datangi Bupati
Komunitas Adat Laman Kinipan nilai pemerintah melakukan pembiaran terhadap konflik agraria di wilayah kelola adatnya. Hal itu mereka sampaikan dalam aksi penolakan aktivitas perusahaan perkebunan sawit di Desa Kinipan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
SAVE OUR BORNEO
Peserta aksi di depan Kantor Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (8/1/2020).
PALANGKARAYA, KOMPAS — Komunitas Adat Laman Kinipan nilai pemerintah melakukan pembiaran terhadap konflik agraria di wilayah kelola adatnya. Hal itu mereka sampaikan dalam aksi penolakan aktivitas perusahaan perkebunan sawit di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Aksi tersebut dimulai pada Rabu (8/1/2020) pagi di depan Kantor Bupati Lamandau, Nanga Bulik, Kalteng. Puluhan orang itu datang dari Desa Kinipan dan Batu Tambun, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, yang jaraknya sekitar 37 kilometer atau tiga jam perjalanan darat.
Mereka menggunakan beberapa kendaraan umum ke lokasi. Bahkan, sebagian warga sudah berangkat pada Selasa (7/1/2020) sebelum aksi dilaksanakan dan menginap di rumah-rumah penduduk di Nanga Bulik, ibu kota Kabupaten Lamandau.
Di depan kantor Bupati Lamandau, masa dilarang masuk ke halaman kantor oleh polisi karena dinilai tidak memiliki izin untuk melakukan aksi. Padahal, surat izin sudah diberikan beberapa hari sebelum aksi dimulai.
Meskipun tidak bisa masuk ke halaman kantor bupati, masyarakat tetap berorasi di depan kantor itu. Mereka meminta Bupati Lamandau Hendra Lesmana menemui dan mendengarkan aspirasi mereka. Sekitar dua sampai tiga jam berorasi, akhirnya Bupati datang dan memberikan beberapa pernyataan.
Warga cukup kesal karena tuntutan dan pernyataan sikap mereka tidak diterima. Mereka juga tidak sempat memberikan pernyataan saat Bupati hadir. Akhirnya massa pulang ke desanya masing-masing sekitar pukul 16.00.
Konflik ini, kan, belum selesai, mengapa aktivitas terus jalan. Kami minta sampai konflik ini habis dibahas selama itu perusahaan tidak boleh beroperasi di hutan kami.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengungkapkan, tujuan aksi itu dilakukan untuk mendesak Bupati Lamandau Hendra Lesmana menghentikan aktivitas perusahaan perkebunan yang saat ini terus membuka lahan di Desa Kinipan. Ia dan puluhan warga juga tokoh adat lainnya khawatir wilayah kelola adatnya akan habis digarap perusahaan.
”Konflik ini, kan, belum selesai, mengapa aktivitas terus jalan. Kami minta sampai konflik ini habis dibahas selama itu perusahaan tidak boleh beroperasi di hutan kami,” kata Buhing.
Senada dengan Buhing, koordinator lapangan aksi, Oktalius, mengungkapkan, perusahaan sudah menyerobot lahan warga tanpa permisi. Ia dan warga dua desa itu sudah melakukan penolakan sebelum perusahaan beraktivitas.
SAVE OUR BORNEO
Peserta aksi di depan Kantor Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (8/1/2020). Mereka membawa berbagai peralatan aksi.
Ia juga menilai, pemerintah datang ke lokasi perusahaan tanpa melalui sosialisasi sehingga belum ada persetujuan dari warga terkait hal tersebut. ”Setelah ini kami akan membahas langkah selanjutnya di desa,” ujarnya.
Konflik tersebut sudah berlangsung lama. Hutan yang dibuka merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang sudah teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2016. Meskipun sudah mendapatkan sertifikat BRWA, pembukaan lahan terus terjadi karena hutan tersebut belum diakui pemerintah sebagai hutan adat.
Izin-izin (perkebunan) dikeluarkan sebelum saya menjadi bupati, jadi saya sampaikan sekali lagi, kalau memang ada masalah, mari diselesaikan secara arif melalui jalur hukum agar tidak terjadi hal yang merugikan.
Sedikitnya terdapat 4.000 hektar, hampir menyamai luas Jakarta Pusat, lahan yang masuk dalam peta wilayah kelola adat tersebut yang sudah dibuka perusahaan perkebunan sawit di Lamandau. Menurut Buhing, selain terdapat ulin (Eusideroxylon zwageri), terdapat berbagai jenis tanaman obat dan buah-buahan yang sampai sekarang merupakan sumber kehidupan masyarakat di beberapa desa di sekitar hutan.
Saat menemui para pendemo, Bupati Lamandau Hendra Lesmana mengungkapkan, masyarakat bisa menempuh jalur hukum jika terdapat hak pengelolaan tanah yang dilanggar perusahaan. Pihaknya juga selama ini selalu hadir dalam setiap permasalahan yang ada di Lamandau.
SAVE OUR BORNEO
Bupati Lamandau Hendra Lesmana saat menemui para pendemo di depan kantornya, Rabu (8/1/2020).
”Izin-izin (perkebunan) dikeluarkan sebelum saya menjadi bupati, jadi saya sampaikan sekali lagi, kalau memang ada masalah, mari diselesaikan secara arif melalui jalur hukum agar tidak terjadi hal yang merugikan,” kata Hendra.
Setelah memberikan jawaban, Hendra Lesmana kemudian masuk kembali ke kantornya. Warga yang belum sempat mengutarakan pendapatnya pun pulang dengan perasaan kecewa terhadap jawaban Bupati.
”Harusnya kami ini didampingi, bukan dibiarkan seperti ini. Ini namanya pembiaran. Bahkan, kami tidak sempat bicara tadi,” kata Buhing.