Konflik di Tanah Papua Masih Berpotensi Terjadi pada 2020
Korban jiwa akibat konflik dan kekerasan di Papua mencapai 61 orang sepanjang 2019. Tahun depan, hal serupa masih berpotensi terjadi di tanah Papua.
Oleh
FABIO COSTA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Korban jiwa akibat konflik dan kekerasan di Papua mencapai 61 orang sepanjang 2019. Mereka tewas akibat serangan kelompok kriminal bersenjata dan unjuk rasa berujung anarkistis di sejumlah daerah. Tahun depan, hal serupa masih berpotensi terjadi di tanah Papua.
Hal itu dikatakan Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw dalam refleksi laporan akhir tahun di Markas Polda Papua, Jayapura, Sabtu (28/12/2019).
Paulus memaparkan, korban meninggal akibat serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebanyak 20 orang. Delapan orang adalah anggota TNI, anggota Polri (2), dan warga sipil (10). ”Sepanjang tahun 2019 ada 23 kasus KKB di Puncak Jaya, Jayawijaya, Mimika, dan Paniai,” kata Paulus.
Unjuk rasa berujung anarkistis juga memakan korban. Total ada 41 orang tewas. Korban terbanyak berasal dari Jayawijaya dengan 31 orang meninggal. Sedangkan total korban luka mencapai 164 orang yang tersebar di Mimika, Deiyai, Kota Jayapura, dan Jayawijaya.
Ia pun menuturkan, unjuk rasa anarkistis juga merusak ribuan bangunan pemerintahan dan rumah warga, sementara kendaraan roda dua dan roda empat hangus terbakar serta dirusak massa. ”Jumlah kerugian material akibat aksi unjuk rasa anarkistis terbanyak di Wamena. Sebanyak 465 unit ruko dibakar, 165 rumah dirusak dan dibakar, serta 374 kendaraan bermotor dibakar massa,” ujar Paulus.
Mantan Kapolda Sumatera Utara ini memprediksi masih ada gangguan keamanan di Papua pada tahun depan. Potensinya dipicu pelaksanaan pemilihan kepala daerah, ajang pekan olahraga nasional, serta masih ada mahasiswa yang meninggalkan tempat kuliahnya di sejumlah daerah di Indonesia dan kembali ke Papua.
”KKB juga belum menghentikan aksi di sejumlah daerah, seperti Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan Nduga. Kami akan bentuk tim khusus untuk mendeteksi, memetakan, mengejar, dan menegakkan hukum terhadap anggota KKB di seluruh wilayah Papua,” kata Paulus.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua Frits Ramandey berpendapat, pencegahan kekerasan di Papua bukan hanya tanggung jawab Polri dan TNI. Otoritas sipil, yakni kepala daerah dan tokoh masyarakat setempat, harus berperan membujuk pimpinan KKB menghentikan aksinya.
”Apabila masih menggunakan pendekatan militer melalui TNI dan Polri, kontak senjata dengan KKB tak akan terhenti,” ujarnya.