Lahan Gambut Bekas Kebakaran di Palangkaraya Dipulihkan
Lahan bekas kebakaran hutan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ditanami kembali untuk memulihkan gambut yang rusak dan mengurangi oksidasi. Sebanyak 49.600 pohon ditanam di area lahan CIMTROP.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Lahan bekas kebakaran hutan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ditanami kembali untuk memulihkan gambut yang rusak dan mengurangi oksidasi. Universitas Palangka Raya dan Borneo Nature Foundation menanam 49.600 pohon endemik gambut di areal CIMTROP yang merupakan kawasan edukasi gambut.
Penanaman berbagai jenis pohon endemik gambut itu sudah dimulai sejak 1997, saat kebakaran hutan dan lahan diduga pertama kali terjadi di Palangkaraya. Saat ini, kegiatan itu terus berlanjut di lokasi Center forInternational Cooperation in Suistainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) atau yang saat ini disebut Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Universitas Palangka Raya (UPR) yang luasnya mencapai 50.000 hektar.
Kawasan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sebangau (TNS) tersebut, pada 2019 juga dilanda kebakaran. Lokasinya sebagian besar berada di tepi Sungai Sebangau.
Adapun penanaman pohon kali ini masih difokuskan untuk lahan bekas terbakar tahun 2015 dan sebelumnya karena posisi kebakaran berada di tengah-tengah kawasan. Penanaman dilaksanakan sejak Rabu sampai Kamis (27-28/11). Jenis-jenis pohon yang ditanam antara lain, balau merah (Shorea belangeran), pulai (Alstonia scholaris), dan jelutung (Dyera costulata) di lahan berkisar 40-50 hektar.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) LAHG Yusurum Jagau mengungkapkan, hutan terbuka atau dengan tutupan minim akan membuang karbon lebih banyak dibanding yang tertutup. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kawasan hutan terbuka dan melepas banyak karbon.
Proses oksidasi, lanjut Jagau, pun menjadi lebih cepat dan ikut berdampak pada kualitas air yang buruk. Hal itu menyebabkan kawasan bekas terbakar harus diperbaiki dengan penanaman pohon atau revegetasi.
“Kawasan CIMTROP memang memiliki wilayah gambut sedang hingga kubah gambut. Revegetasi akan memulihkan gambut yang rusak sehingga kembali basah dan tidak mudah terbakar. Kami juga membuat sekat di tujuh kanal,” ungkap Yusurum.
Ketua Yayasan Borneo Nature (BNF) Juliarta Bramansa Ottay mengungkapkan, bibit-bibit merupakan bantuan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kahayan sebanyak 24.600 bibit, sedangkan 25.000 bibit dari masyarakat sekitar CIMTROP.
“Jadi (kegiatan) ini ada manfaatnya juga untuk masyarakat, karena mereka didampingi dalam membuat bibit dan bibitnya kami beli,” ungkap Juliarta. Dalam proses pembibitan, sebagian besar warga sudah mengurangi penggunaan polybag dengan anyaman dari daun rasau atau purun yang tumbuh liar di sekitar sungai.
Adapun lokasi penanaman cukup sulit ditempuh. Dari Kota Palangkaraya, tepatnya di dermaga Kereng Bangkirai, perjalanan harus dilalui menggunakan perahu kayu selama 15 menit, lalu dilanjutkan dengan lori atau kereta yang dibuat 31 tahun lalu untuk mengangkut kayu.
Lori digunakan sebagai alat transportasi untuk masuk ke camp CIMTROP. Dua menit menggunakan lori, perjalanan dilanjutkan jalan kaki sekitar 1,6 kilometer ke lokasi bekas kebakaran terdekat.
Di lokasi itu, staf BNF dan CIMTROP menanam pohon. Mereka membawa bibit-pohon menggunakan tas atau anjat yang biasa digunakan masyarakat Dayak membawa bekal dan peralatan berkebun ketika ke hutan.
Mamat Rusdi (36) salah satu staf BNF yang juga warga Kereng Bagkirai, mengatakan, kebakaran selalu terulang tetapi setiap tahun semakin berkurang. Tahun ini, timnya berhasil mencegah sejumlah potensi kebakaran. Api tidak melahap bagian dalam kawasan dan bertahan di pinggiran kawasan yang berbatasan langsung dengan Sungai Sebangau.
“Sebagian lokasi revegetasi sudah terbakar sejak 2006. Jadi setelah ditanam, kami tetap memantau perkembangan pohonnya. Jadi tidak hanya ditanam tetapi juga dijaga,” ungkap Rusdi.