Memasuki pertengahan November, dari 342 zona musim di Indonesia, baru 26 persen yang sudah masuk musim hujan. Secara umum, musim hujan mundur sekitar tiga dasarian.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
UNGARAN, KOMPAS — Memasuki pertengahan November, dari 342 zona musim di Indonesia, baru 26 persen yang sudah masuk musim hujan. Secara umum, musim hujan pun mundur sekitar tiga dasarian. Dari sejumlah indikator itu, diperkirakan potensi iklim ekstrem bakal makin kerap terjadi.
Deputi Klimatologi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan, penggerak iklim di Indonesia antara lain fluktuasi suhu muka laut di Samudra Pasifik, perairan di Afrika, dan Indonesia. Hal itu membuat pembentukan awan sangat sulit terjadi.
”Selama ini, kita melihat kekeringan dari El Nino. Namun, ternyata tahun ini (El Nino) sudah hilang atau lemah, tetapi kekeringan masih dirasakan sampai sekarang,” kata Herizal di sela-sela Sosialisasi Agroklimat kepada petani di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (14/11/2019).
Herizal menambahkan, sejumlah indikator menunjukkan peningkatan frekuensi cuaca iklim ekstrem. Jika sebelumnya El Nino terjadi 5-7 tahun sekali, sekarang 2-5 tahun sekali.
”Ini membuat potensi ekstrem semakin lebih banyak terjadi. Terkadang, anomali di laut memang lebih ekstrem dari biasanya. Kita bisa melihat adanya siklon cempaka dan siklon dahlia pada 2017,” katanya.
Ia menuturkan, komitmen yang dibutuhkan saat ini adalah mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Bauran energi terbarukan penting guna mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil pemicu pemanasan global. Sebab, hal itu dapat berdampak pada terjadinya iklim yang berubah-ubah.
Herizal mengatakan, secara nasional, musim hujan mundur 10 hari-1 bulan. ”Musim hujan baru terjadi antara lain di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan sebagian Riau. Dari 342 zona musim di Indonesia, baru sekitar 26 persen yang sudah masuk musim hujan,” katanya.
Durasi pendek
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang BMKG Tuban Wiyoso menambahkan, musim hujan di Jateng mundur tiga dasarian. ”Memang ada bias sekitar satu dasarian. Di sejumlah daerah, durasinya masih sebentar. Namun, indikasinya sudah akan masuk musim hujan,” katanya.
Menurut analisis curah hujan Stasiun Klimatologi BMKG Semarang pada 1-10 November 2019, sejumlah daerah dengan tingkat curah hujan tinggi (di atas 300 mm) ada di sebagian Banyumas, Wonosobo, dan Demak. Sementara daerah dengan curah hujan rendah (0-10 mm) di Brebes, Kendal, Klaten, dan Wonogiri.
Bupati Semarang Mundjirin menuturkan, selain bencana kekeringan, pihaknya juga mewaspadai bencana longsor. Sebab, meskipun frekuensi hujan belum tinggi, beberapa kali sudah terjadi hujan yang disertai angin kencang, yang menjadi tanda-tanda musim peralihan.
”Ada 12 kecamatan di Kabupaten Semarang yang rawan longsor, antara lain Bringin, Bancak, Jambu, dan Sumowono. Kami sosialisasi kepada masyarakat agar mengenali tanda-tanda longsor, seperti tumbuhan yang miring atau munculnya sumber air secara tiba-tiba,” kata Mundjirin.