Polisi Tangkap Pembuat Video Ujaran Kebencian di Aceh
Aparat Polda Aceh menangkap dua terduga pelaku pembuat video yang berisi ujaran kebencian yang menyerang suku dan etnis tertentu. Polisi juga menemukan satu pucuk senjata api rakitan dan enam butir peluru.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Aparat Kepolisian Daerah Aceh menangkap dua terduga pelaku pembuat video yang berisi ujaran kebencian yang menyerang suku dan etnis tertentu. Kedua pria yang ditangkap adalah YI dan RMJ. Bersama mereka, polisi menemukan satu pucuk senjata api rakitan dan enam butir peluru.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Ery Priyono, Jumat (8/11/2019), menuturkan, YI dan RMJ ditangkap pada Kamis (7/11) di Desa Rabo Baroh, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar pukul 10.00. Kedua terduga diboyong ke Markas Polda Aceh di Banda Aceh. “Mereka dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api,” kata Ery.
Kasus bermula saat awal September 2019, YI, RMJ, dan beberapa orang lain membuat video berisi ancaman terhadap orang non-Aceh. Dalam video itu, mereka meminta orang-orang non-Aceh agar keluar dari provinsi itu. Mereka memberi tenggat sampai 4 Desember 2019.
Perbuatan mereka dianggap dapat memperkeruh suasana perdamaian di Aceh.
Video itu kemudian disebar melalui media sosial. Mereka menamai kelompoknya Teuntra Islam Atjeh Darussalam. Ery menuturkan, video tersebut berisi ujaran kebencian dan unsur SARA. Perbuatan mereka dianggap dapat memperkeruh suasana perdamaian di Aceh.
Menurut Ery, kedua tersangka merupakan anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Abu Razak yang tewas ditembak pada 19 September 2019 lalu di Pidie. Ery mengatakan, masih ada anggota kelompok tersebut yang belum berhasil ditangkap. Ery meminta mereka untuk menyerahkan diri. Polisi telah mengantongi identitas mereka.
Sebelumnya, Al Chaidar, pengamat terorisme yang juga dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, menuturkan, senjata yang digunakan oleh KKB di Aceh umumnya sisa konflik. Pada saat perdamaian, tidak semua senjata diserahkan kepada pemerintah untuk dimusnahkan.
Sebagian eks-GAM (Gerakan Aceh Merdeka) juga memiliki kemampuan merakit senjata. Abu Razak pada saat konflik juga merupakan salah satu ahli perakit senjata. Dengan menggunakan besi dan mesin bubut, Abu Razak bisa merakit senjata. ”Masih ada senjata bekas konflik yang disimpan oleh mantan anggota GAM,” kata Al Chaidar.
Al Chaidar menambahkan, kemunculan KKB menunjukkan proses reintegrasi pascaperdamaian di Aceh tidak berjalan mulus. Banyak anggota GAM tidak mendapatkan dana reintegrasi. ”Elite-elite GAM mendapatkan kekuasaan dan akses ekonomi yang bagus, sementara anggota di bawah tidak tersentuh,” kata Al Chaidar.
Terkait penyebaran video ujaran kebencian, Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi dan Teknologi (MIT) Aceh Teuku Farhan menuturkan media sosial digunakan untuk menyebarkan informasi baik negatif maupun positif karena mudah menjangkau siapapun. Belakangan media sosial justru menjadi rujukan warga dibandingkan media arus utama.
Oleh karena itu sangat penting pendidikan literasi media bagi warga agar saat mendapatkan informasi tidak langsung menyebarkannya namun disaring dulu. Apalagi informasi yang sudah jelas mengandung nilai negatif seperti provokasi, ujaran kebencian, dan informasi bohong.
Pemerintah dan komunitas perlu memperbanyak pendidikan literasi kepada warga. Warga hendaknya juga memperbanyak literasi, membaca dan konsultasi dengan ahlinya mengenai dampak hukum akibat penyalahgunaan media sosial. Sementara penyedia layanan juga harus bertindak tegas dengan memblokir akun penyebar berita bohong.“Media sosial jangan hanya sekadar jadi hobi dan tempat mengekspresikan diri, tapi jadikan tempat belajar agar tidak berakhir di jeruji,” ujar Farhan.