Moratorium Sawit Dukung Konservasi di Wilayah Papua
Kebijakan moratorium perkebunan sawit yang berlaku setahun terakhir dinilai mendukung upaya konservasi lingkungan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Oleh
Fabio Costa
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mendukung pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018. Aturan tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit itu dinilai mendukung upaya konservasi lingkungan di wilayah Papua.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob S Fonataba, saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (30/10/2019), mengatakan, Pemprov Papua Barat melaksanakan moratorium sawit sejak setahun terakhir.
Tim dari Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat juga terus melaksanakan pendataan perkebunan sawit sesuai dengan perintah Inpres tersebut. Total sekitar 5.000 hektar areal sawit yang telah didata.
"Jumlah luasan lahan sawit di Papua Barat mencapai 436.955 hektar. Perkebunan sawit tersebut tersebar di sejumlah kabupaten, yakni Sorong, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, Maybrat, Fakfak, Manokwari, Teluk Wondama, dan Manokwari Selatan," papar Yacob.
Ia menuturkan, terdapat 20 perusahaan yang memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit. Total produksi minyak sawit mentah (CPO) hingga Juni tahun ini mencapai 35.190 ton. "Tidak ada tambahan perusahaan yang memiliki izin sawit setelah keluarnya moratorium. Hingga kini, hanya empat perusahaan yang telah produksi tandan buah segar. Sementara, 16 perusahaan lainnya masih dalam proses penanaman," tuturnya.
Ia menyatakan, alokasi 20 persen kebun plasma dari total luasan sawit yang dimiliki perusahaan belum terealisasi. Total luasan kebun sawit plasma atau kebun yang dikelola masyarakat baru mencapai 9.107 hektar.
Pemprov Papua Barat sementara mendata jumlah luasan kebun plasma yang direhabilitasi. Tujuannya untuk meningkatkan produksi sawit di kebun milik sekitar 10.000 petani.
"Saat ini kami terus berupaya mensosialisasikan regulasi alokasi 20 persen kebun kepada setiap pengelola perusahaan yang memegang izin HGU. Apabila mereka tidak melaksanakannya, kami akan memberikan sanksi pencabutan izin," kata Yacob.
Kami ingin kelestarian hutan dan sumber mata air bagi generasi muda di Papua Barat tetap terjaga.
Yacob menambahkan, pelaksanaan moratorium sawit sesuai visi Papua Barat sebagai provinsi konservasi sejak tahun 2015. Hal ini untuk memastikan tutupan hutan di Papua Barat tetap terjaga. Dari data Pemprov Papua Barat, total tutupan hutan di provinsi itu sekitar 90 persen dari total luas wilayah 9,7 juta hektar.
"Kami ingin kelestarian hutan dan sumber mata air bagi generasi muda di Papua Barat tetap terjaga, bukannya memberikan air mata bagi mereka karena kerusakan lingkungan dan sumber air yang mengering," kata Yacob.
Sementara itu, di Provinsi Papua, Bupati Jayapura Matius Awoitauw, saat ditemui, mengatakan, pihaknya juga mendukung penuh pelaksanaan moratorium sawit. Hingga tahun ini, di kabupaten itu tercatat hanya tiga perusahaan yang bergerak di usaha tersebut.
Pemkab Jayapura, lanjut Matius, fokus untuk menjaga kelestarian hutan yang saat ini mulai dikembangkan masyarakat adat sebagai destinasi wisata. Salah satunya melalui aktivitas bird watching atau mengamati burung cenderawasih di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang.
"Dari hasil pendataan kami, tiga perusahaan sawit ini berada di daerah Nimbokrang dan Lereh. Total luasan sawit di dua lokasi itu mencapai sekitar 30.000 hektar. Kami tidak lagi memberikan izin untuk perusahaan lain," kata Matius.
Matius mengatakan, pihaknya secara rutin mengawasi kegiatan operasional perusahaan-perusahaan tersebut agar sesuai dengan regulasi. "Selama ini kami terus berkomunikasi dengan masyarakat adat agar tidak menyerahkan areal hutan adat miliknya untuk dijadikan sebagai perkebunan sawit," tutur Matius.