Pilihan untuk Anak-anak Pekerja Migran
Minim pilihan, fenomena pekerja migran bagi sebagian warga Nusa Tenggara Barat, kerap "diwariskan" sejak dari keluarganya. Keterbatasan ekonomi dan keahlian jadi penyebabnya.
Minim pilihan, fenomena pekerja migran bagi sebagian warga Nusa Tenggara Barat, kerap ”diwariskan” sejak dari keluarganya. Keterbatasan ekonomi dan keahlian jadi penyebabnya. Padahal, tanpa keahlian khusus, bekerja di luar negeri kerap bukan solusi terbaik. SMK Ondak Jaya di Desa Pringga Jurang, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ingin memutus kendala itu.
Abdul Salam (19) bersama empat temannya tengah membuka as ulir atas mesin bubut yang macet, karatan, dan tidak terawat. Diputar ke kanan-kiri, sebelum diberi pelumas untuk mengupas karat.
Ada tiga unit mesin bubut pemberian sebuah SMK Negeri di Mataram, tiap unit mesin dikeroyok tiga orang. Semua motor listrik mesin itu bisa dihidupkan lagi. Namun, ada beberapa suku cadang yang memang perlu diganti.
”Kami lagi praktik kerja dibimbing guru,” ujar Salam, siswa kelas II jurusan Teknik Permesinan SMK Ondak Jaya, Senin (21/10/2019).
Kini, ada 72 siswa di SMK Ondak Jaya. Sebanyak 32 siswa adalah anak pekerja migran yang masih aktif, salah satunya Abdul Salam. Sisanya, sebanyak 40 siswa lainnya adalah anak petani dan mantan pekerja migran. Semuanya sekolah tanpa harus mengeluarkan biaya.
Berjarak sekitar 50 kilometer dari Mataram, Desa Pringga Jurang, sejak lama dijerat kemiskinan. Banyak warga hidup kekurangan, salah satunya dipicu minimnya kepemilikan Tanah sekitar 1.000 meter persegi per rumah tangga. Memiliki daerah keramat air umbulan di Dusun Joben, yang airnya konon bisa mengobati segala penyakit, tak banyak membantu kesejahteraan warga.
”Hal itulah membuat warga pilih jadi pekerja migran di Malaysia dan Arab Suadi,” kata M Khairul Ihwan, Pendiri SMK Ondak Jaya.
Di Malaysia, pekerja migran asal NTB dikenal sebagai pekerja keras dan tahan banting di Malaysia. Mereka dinilai punya urat dawai tulang besi. Sayangnya keunggulan itu tidak mendapat porsi ideal di Tanah Air. Bertahan di NTB, mereka harus berebut pekerjaan di tengah minimnya peluang. Data Badan Pusat Statistik NTB tahun 2015 menyebutkan, total pekerja migran NTB mencapai 46.187 orang. Sebanyak 24.526 orang diantaranya berasal dari Lombok Timur.
Baca juga: TKI di Malaysia dari Permit hingga Urat Dawai
SMK Ondak Jaya dibuka tahun 2017, diawali jurusan Teknik Permesinan. Setahun kemudian, jurusan Teknik Elektronika Industri pun hadir. Gedung yang mereka tempati kini bekas gudang gabah yang direnovasi.
Lahir dari keterbatasan tidak membuat siswa SMK ini kehilangan kreativitas. Beragam produk tepat guna dibuat dan dijual demi dana operasional sekolah. Beberapa di antaranya seperti alat pembakar sate seharga Rp Rp 3 juta per unit, mesin perontok kedelai (Rp 10 juta per unit), mesin sangrai kopi (Rp 11,5 juta per unit), mesin pencacah sampah (Rp 25 juta per unit), hingga mesin roaster kopi (Rp 12 juta per unit).
Siswa SMK kebagian tugas jadi pekerjanya, seperti mendesain, mengelas rangka mesin dan memasang mesin. Semua dilakukan lewat bimbingan guru. Sementara mesinnya tetap dibeli dari beberapa toko di Mataram. Satu produk terbiasa dikerjakan berkelompok. Setiap orang dibayar Rp 20.000 per hari. Jam kerjanya, pukul 08.00-12.00 Wita dan 14.00-15.00 Wita.
Sejauh ini, produk-produk itu diminati konsumen. Tidak hanya warga NTB, produk hasil karya SMK ini laku dijual secara daring hingga Jakarta, Bandung, Surabaya, Balikpapan (Kalimantan Timur), hingga dan Halmahera (Maluku).
Sejauh ini, produk-produk itu diminati konsumen. Tidak hanya warga NTB, produk hasil karya SMK ini laku dijual secara daring hingga Jakarta, Bandung, Surabaya, Balikpapan (Kalimantan Timur), hingga dan Halmahera (Maluku)
Dedikasi guru juga berperan besar. Umi Cahyani (38), misalnya, memilih mendampingi siswa ketimbang bekerja di perusahaan multinasional. Merantau selama 12 tahun terakhir di sejumlah negara, ia ingin mendampingi anak -anak NTB menyiapkan masa depan.
”Terakhir, ada tawaran dari salah satu perusahaan Australia yang bergerak di bidang pembangunan jaringan komunikasi. Secara materi, saya sudah cukup. Kini saatnya memberikan sesuatu buat orang banyak,” kata Umi.
Tidak hanya produk tepat guna yang diminati. Lulusannya pun sudah diincar dunia kerja. Ihwan mengatakan, sebanyak 20 siswa kelas III jurusan Teknik Permesinan, yang mahir mengelas, dipesan untuk bekerja oleh tiga perusahaan produk pertanian di Lombok.
Hal ini diharapkan ikut menekan tingginya jumlah penganggur di NTB. Kepala Humas BPS NTB I Putu Yudhistira mengatakan, dari 50.424 lulusan SMA, 46.809 orang sudah bekerja dan 3.615 orang menganggur pada 2018. Hal serupa juga terjadi pada lulusan SMK. Dengan jumlah lulusan 18.610 orang, sebanyak 17.435 orang sudah bekerja dan 1.175 orang lainnya masih menganggur.
Adrian (17), siswa kelas II jurusan Teknik Permesinan, bercita-cita menjadi tukang las andal. Bahkan, untuk mewujudkan cita-citanya itu Adrian berhenti dari sekolahnya semula di salah satu SMK kepariwisataan.
Selepas lulus, ia ingin membuka bengkel las sendiri agar tidak perlu menggantungkan hidup dari orang lain. Saat ini, Adrian dan adiknya masih tinggal bersama pamannya. Ayahnya jadi pekerja migran di Malaysia dan sudah lama tak pernah pulang.
”Hasil las yang baik jika kawat elektroda berbentuk sisik pada ujung sambungan besi yang dilas,” ujarnya menunjukan keahliannya.
Samsul Arifin (19) , siswa kelas II jurusan Teknik Elektronika Industri, juga punya cita-cita tinggi. Lulus dari Madrasah Aliyah Nahdlatul Wathan Prian, jurusan IPS tahun 2017, ia masuk ke SMK Ondak Jaya. Bisa mendapat ilmu baru tanpa biaya jadi daya tarik utamanya. Hasilnya manis. Kini, Samsul sudah bisa membuat pengendali jarak jauh untuk mobil-mobilan elektronik. Dia juga mampu memperbaiki televisi yang rusak.
”Setelah lulus MA, saya tidak bisa langsung kerja. Agar bisa lekas kerja, saya putuskan sekolah lagi,” kata Samsul, yang ditinggal ayah dan ibunya bekerja di Malaysia.
Yatman Ramdani (18), siswa kelas III jurusan Teknik Permesinan, juga tidak menyesal melepas kesempatan melanjutkan sekolah di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar di Lombok Barat. Dia sebenarnya atlet voli berprestasi, tetapi kesulitan membiayai kebutuhannya.
”Enak di sini, sekolah gratis, kerja diupah, guru-guru mengizinkan kalau mau ikut pertandingan voli,” kata Yatman, yang terampil mengelas. Ia sering diminta tetangganya membuat pintu gerbang rumah. ”Sekali ngelas dapat upah seratus ribu rupiah,” tuturnya.
Baca juga: Batam Tempat Transit Favorit Pekerja Migran Ilegal
Ihwan berharap, akan semakin banyak anak-anak pekerja migran dan tidak mampu menuntut ilmu di SMK Ondak Jaya. Ketimbang merantau di luar negeri, mereka bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri atau berpeluang bekerja di rumah sendiri. Bahkan, jika terpaksa pergi jadi pekerja migran, siswa punya keahlian khusus untuk bekal di negeri seberang.