Lahan di Taman Wisata Alam Batuputih di Kota Bitung, Sulawesi Utara, terbakar. Ini merupakan kebakaran besar pertama di kawasan konservasi itu dalam empat tahun terakhir.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS - Lahan di Taman Wisata Alam Batuputih di Kota Bitung, Sulawesi Utara, terbakar. Ini merupakan kebakaran besar pertama di kawasan konservasi itu dalam empat tahun terakhir. Hingga Jumat (27/9/2019), petugas gabungan telah berhasil memadamkan sebagian besar titik api.
Kebakaran awalnya terjadi di dekat area bumi perkemahan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, pada Kamis (26/9), sekitar pukul 14.40 Wita. Api dipadamkan petugas resor bersama pasukan pemadam kebakaran, warga, kepolisian, serta TNI, Jumat siang.
Namun, titik api baru muncul di lokasi berbeda pada Jumat siang. Petugas gabungan dan warga pun kembali berupaya memadamkan api bersama-sama. Api di lokasi itu dapat dipadamkan pada Jumat sore.
Pada Jumat sore, kebakaran terjadi lagi, kali ini di lahan yang ditumbuhi ilalang. Meski berada di area TWA Batuputih, hamparan ilalang itu terpisah dari hutan. Petugas kembali berupaya memadamkan api.
Api membakar daun-daun kering yang berserakan di tanah hingga jadi abu. Beberapa pohon nantu (Palaquium Sp) dan pohon kayu bunga (Spathodea Sp) dengan diameter batang yang cenderung kecil ikut terbakar dan tumbang. Asap menyebar mengikuti arah tiupan angin, membuat napas sesak dan mata perih.
Kepala Resor TWA Batuputih dan Cagar Alam Tangkoko Duasudara, Djenly Gawina, mengatakan, area lahan yang terbakar terpisah-pisah satu dengan lainnya. "Kebakaran ini adalah yang pertama di TWA Batuputih dalam empat tahun terakhir. Tahun 2018 ada, tapi tidak sampai 1 hektar," kata Djenly.
Djenly belum bisa memastikan luas lahan terbakar sebelum dilihat dari hasil citra penginderaan jauh, tetapi ia memperkirakan hanya sekitar 10 hektar dari total luas wilayah 650 hektar. Jumlah ini jauh lebih kecil dari dampak kebakaran di TWA Batuangus, yang terletak di sisi tenggara TWA Batuputih, pada Agustus 2018 lalu. Kala itu, kebakaran melumat areal seluas 119 hektar.
Waktu ditemukan, kondisinya sudah hangus tanpa bagian kaki.
Para petugas menyingkirkan daun-daun kering di tanah pada area yang dilingkupi kobaran api agar sebarannya tak meluas. Kemudian, petugas Manggala Agni memadamkan bara api dengan menyemprotkan air dari kantong air yang dibawa di punggung. Metode itu dipakai karena truk pemadam kebakaran tidak bisa menjangkau area kebakaran.
Kebakaran ini juga menyebabkan seekor rusa (Cervus timorensis) mati. Hanya tengkorak serta bagian tulang punggung hewan tersebut yang tersisa. Djenly memperkirakan, usia rusa itu satu tahun. "Dari ukurannya, ini termasuk rusa remaja. Waktu ditemukan, kondisinya sudah hangus tanpa bagian kaki," katanya.
Hingga kini, belum ada satwa endemik yang menjadi korban kebakaran. Djenly mengatakan, sekelompok yaki atau monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) berhasil melarikan diri. Yaki memiliki insting yang kuat untuk mendeteksi bahaya serta dapat bergerak cepat.
Lilik Yuliarso, Koordinator Lapangan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) untuk wilayah Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, mengatakan, penyebab kebakaran belum diketahui. Ada dua kemungkinan penyebab, yaitu gesekan daun-daun kering atau kelalaian warga sekitar yang membuka lahan kebunnya dengan cara membakar.
"Warga di sini banyak yang menanam jagung. Mereka membuka lahan dengan cara membakar, tapi tidak memperhitungkan risiko menyebar ke area sekitarnya. Habis bakar, langsung ditinggal begitu saja," kata Lilik.
Masa transisi musim kemarau ke musim hujan adalah waktu terbaik menyiapkan lahan untuk ditanami jagung. Setelah dibakar, kata Lilik, lahan akan jadi lebih subur. Tanaman akan tumbuh seiring turunnya hujan.
Namun, Lilik menilai, warga sekitar TWA Batuputih tidak memiliki kecenderungan untuk merambah area konservasi sebab kebanyakan warga bekerja sebagai nelayan. Kawasan TWA Batuputih bersebelahan dengan pesisir pantai.
Selain itu, warga juga mendapatkan manfaat dari pariwisata yang berkembang di Cagar Alam Tangkoko. "Di sini pusatnya wisata minat khusus. Banyak wisman (wisatawan mancanegara) yang datang untuk melihat yaki dan tarsius (Tarsius spectrum)," kata Lilik.
Kendati demikian, kejadian itu tidak berdampak negatif pada kunjungan wisata. Para wisman dari berbagai negara tetap berdatangan hingga sore hari.
TWA Batuputih menarik untuk wisata minat khusus satwa endemik karena menjadi habitat yaki, tarsius, dan berbagai burung khas Sulawesi seperti julang sulawesi (Aceros cassidix) dan elang sulawesi (Nisaetus lanceolatus). Patung naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace juga didirikan di TWA Batuputih.