Sejak 61 tahun Nusa Tenggara Timur hadir sebagai provinsi otonom, lepas dari Kepulauan Sunda Kecil, pimpinan DPRD Provinsi selalu berasal dari Partai Golkar sebagai pemenang pemilu
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
Sejak 61 tahun Nusa Tenggara Timur hadir sebagai provinsi otonom, lepas dari Kepulauan Sunda Kecil, pimpinan DPRD Provinsi selalu berasal dari Partai Golkar sebagai pemenang pemilu. Baru pada periode 2019-2024 Ketua DPRD di tangan PDI-P sebagai pengumpul suara terbanyak. Hanya sayang perubahan pimpinan tidak merepresentasi keterwakilan suku, agama dan etnik di NTT.
Pembahasan tata tertib DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2019-2024 berlangsung secara tertutup sejak 4-6 September di gedung DPRD NTT. Ada plang tertulis “Rapat Tertutup” terpajang di tangga ruang Kelimutu Gedung DPRD NTT Kupang, Jumat (6/9/2019). Insan pers pun dilarang meliput.
Suasana sidang tidak “cair” seperti rapat pembahasan tata tertib pada periode-periode sebelumnya. Padahal selama ini pembahasan tata tertib DPRD NTT selalu dilakukan terbuka, termasuk untuk pers. Jika periode-periode sebelumnya garis besar tatib sudah ada dan tinggal penyesuaian sejumlah hal teknis, kali ini pembahasan berlangsung alot.
Pimpinan DPRD periode 2019-2024 tidak mewakili seluruh suku, agama dan etnik NTT. Anggota DPRD dari Flores dengan jumlah 31 kursi dari 65 kursi tidak menjabat salah satu pimpinan DPRD.
Ada intervensi dari atasan? Bisa saja ya, juga bisa tidak. Jika ya, itu pun sesuai mekanisme parpol bersangkutan. Jauh sebelum pelantikan DPRD NTT, 3 September 2019, ternyata lobi politik di tingkat pimpinan parpol local cukup kuat.
Partai Golkar sejak awal merekomendasikan Inche Sayuna, unsur perempuan daerah pemilihan Timor. PDI-P, sebelumnya pimpinan partai local merekomendasikan Nelson Matara (Rote Ndao), demi kepentingan politik tertentu.
Tetapi deal politik antara pimpinan parpol lokal ini gagal di tengah jalan, manakala, DPP DPI-P menunjuk Emilia Nomleni sebagai Ketua DPRD periode 2019-2024.
Emilia Nomleni sebelumnya adalah calon gubernur NTT periode 2018-2023, bersaing dengan Gubernur-Wakil Gubernur sekarang, Viktor Laiskodat-Joseph Nae Soi. Emilia juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD NTT periode 2009-2014. Emilia Nomleni berasal dari daerah pemilihan VIII NTT, Timor Tengah Selatan.
Penunjukan Inche Sayuna sebagai Wakil Ketua DPRD oleh DPD Partai Golkar NTT, juga dari daerah pemilihan VIII, Timor Tengah Selatan. Masih ada tokoh Golkar NTT berpengalaman, yakni Thomas Tiba daerah pemilihan V NTT (Ngada Nagekeo, Ende, Sikka). Tiba terpilih sebagai anggota DPRD NTT periode 2019-2024. Sebelumnya, ia menjabat ketua DPRD Ngada, dan Ketua DPC Partai Golkar Ngada dua periode berturut-turut.
Dua srikandi
Dua srikandi ini, yakni Emilia Nomleni dan Inche Sayuna bakal menjadi pimpinan DPRD dan wakil pimpinan DPRD NTT pertama dalam sejarah NTT. Lebih dari itu, Emilia adalah perempuan pertama yang mengemban jabatan Ketua DPRD.
Dua perempuan ini bakal diapit dua wakil pimpinan DPRD laki-laki, yakni Chris Mboiek daerah pemilihan (dapil) II NTT (Rote Ndao, Kabupaten Kupang, dan Sabu Raijua) dari Nas-Dem. Alo Lady dapil III (Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya) dari PKB. Aleks Ofong dapil VI, Flores Timur, Lembata, dan Alor, sebelumnya sebagai wakil Ketua DPRD periode 2014-2019. Kini ia menjadi anggota DPRD dari Nas-Dem.
Pimpinan fraksi-fraksi DPRD masih dalam pembahasan internal partai. DPRD periode 2014-2019 terdapat sembilan fraksi. Kali ini, pembahasan fraksi-fraksi masih dalam proses.
Total 65 anggota DPRD NTT saat ini, 12 anggota diantaranya kaum perempuan. Periode 2014-2019 hanya lima, dan periode 2009-2014 sebanyak tiga orang. Jika sesuai kuota 30 persen maka perempuan yang duduk di DPRD NTT harusnya 19-20 orang.
Konstelasi kepemimpinan DPRD NTT periode 2019-2024 berbeda dengan kepemimpinan DPRD NTT periode-periode sebelumnya. Periode 2014-2019 misalnya, Ketua DPRD Anwar Pua Geno dari Partai Golkar daerah pemilihan V NTT. Wakil Ketua Gabriel Beribina dapil VI NTT, Gerindra, Aleks Ofong, dan Nelson Matara dapil II NTT, PDI-P.
Perubahan konstelasi pimpinan DPRD NTT 2019-2024 ini sah-sah saja dalam perjalanan partai politik dan lembaga DPR (D).
Suara terbanyak
Dosen Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmat Atang mengatakan, secara regulasi yang menduduki kursi Ketua DPRD dari PDI-P berdasarkan perolehan suara terbanyak. Kemudian wakil ketua dijabat oleh PKB, Nas-Dem, dan Partai Golkar.
Suku atau etnik tertentu menduduki pimpinan DPRD, itu sah-sah saja. Tetapi konstituen yang memilih wakil mereka di DPRD pasti terus memantau pilihannya itu sampai di lembaga DPRD, termasuk apa yang sedang terjadi di sana, kata Atang.
Mengenai penunjukkan orang menduduki jabatan pimpinan DPRD, itu kewenangan pimpinan partai politik. Tetapi DPRD itu lembata politik, mereka merepresentasi suku, agama, ras, golongan, dan asal-usul di NTT sehingga penunjukkan itu tetap memperhatikan unsur-unsur itu.
“Suku atau etnik tertentu menduduki pimpinan DPRD, itu sah-sah saja. Tetapi konstituen yang memilih wakil mereka di DPRD terus memantau pilihannya itu sampai di lembaga DPRD, termasuk apa yang sedang terjadi di sana. Hasil pemilu yang jujur dan adil, itu juga seharusnya terjadi di pimpinan dewan,” kata Atang.
Meski demikian, pimpinan ketua DPRD tidak banyak pengaruh bagi kesejahteraan masyarakat. Selama ini pimpinan DPRD NTT dibagi secara merata, berdasarkan keterwalikan suku, agama dan asal usul, pun tidak banyak membawa perubahan kesejahteraan masyarakat. Tetapi masyarakat merasa dihargai dan didengarkan karena wakil-wakil yang mereka pilih mendapat kehormatan dengan mendapatkan jabatan tertentu di lembaga terhormat itu.
Sepuluh kabupaten dari 22 kabupaten/kota di NTT ada di Flores. Jelas Flores memiliki jumlah wakil rakyat terbanyak di DPRD NTT secara etnik dibanding etnik lain di NTT.