Pelestarian Alam Dianggap Bukan Prioritas Pemprov Jatim
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap mengabaikan pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terlihat dari pemberian penghargaan kepada perusahaan pertambangan dan pembiaran terhadap keberadaan limbah bahan beracun berbahaya (B3).
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap mengabaikan pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terlihat dari pemberian penghargaan kepada perusahaan pertambangan dan pembiaran terhadap keberadaan limbah bahan beracun berbahaya (B3).
Dalam puncak peringatan Hari LH, Minggu (28/7/2019), di Pelabuhan Perikanan Pantai Mayangan, Probolinggo, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa memberikan penghargaan kepada perusahaan tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI).
Penghargaan diberikan atas Laporan Pelaksanaan Pengelolaan LH 2019 perusahaan tersebut yang dianggap memenuhi kriteria baik. Namun, bagi kalangan pegiat LH, pemberian penghargaan itu menandakan Pemprov Jatim tak berpihak terhadap isu pelestarian dan kelestarian alam provinsi berpenduduk 40 juta jiwa itu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim Tri Jambore Christanto alias Rere, Jumat (2/8/2019), di Surabaya, mengatakan, pemberian penghargaan itu menunjukkan lemahnya komitmen Khofifah terhadap keselamatan warga pesisir selatan Jatim.
Rere mengingatkan, pertambangan telah menimbulkan gejolak penolakan bahkan berujung konflik yang membuat rakyat menderita. Mereka merasakan kerusakan ekologis dan ekosistem, menanggung pengurangan pendapatan, dan dampak kesehatan setelah pertambangan beroperasi.
Dalam catatan Kompas, di kawasan Pantai Pulau Merah, Banyuwangi, terjadi banjir lumpur dan kerusakan ekosistem pada Agustus-September 2016. Sawah rusak sehingga petani tak bisa menggarap lagi lahannya. Selain itu, terjadi penurunan pendapatan nelayan dan pegiat pariwisata di Pantai Pulau Merah.
“Kami meyakini kerusakan itu terjadi akibat kegiatan tambang emas di hulu Tumpang Pitu, Pesanggrahan, oleh BSI,” kata Rere. Padahal, kawasan Tumpang Pitu sebelum ditambang merupakan hutan lindung sekaligus penyangga bagi ekosistem Taman Nasional Meru Betiri di pesisir selatan.
Konflik akibat pertambangan di pesisir selatan Jatim sudah beberapa kali terjadi. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengerem bahkan mengevaluasi kebijakan pertambangan ke depan.
Kami meyakini kerusakan itu terjadi akibat kegiatan tambang emas di hulu Tumpang Pitu, Pesanggrahan, oleh BSI
Pemprov Jatim seharusnya berkaca dari penolakan keras warga terhadap rencana tambang emas di Silo, Jember, dan di Panggul, Trenggalek. Selain itu, gerakan penolakan terhadap tambang pasir besi di Pantai Paseban, Jember juga sepanjang Pantai Jolosutro, Blitar, sampai Pantai Wonogoro, Malang.
Pemerintah diingatkan bahwa konflik tambang pasir besi di Lumajang beberapa tahun lalu mengakibatkan nyawa seorang petani dan aktivis LH, Salim Kancil melayang akibat pembunuhan yang direncanakan. “Mengapa beberapa kejadian itu dilupakan?,” kata Rere.
Ancaman pertambangan
Padahal, ancaman pertambangan seolah nyata. Menurut hasil Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa per Agustus 2016 terdapat 347 izin usaha pertambangan (IUP) di Jatim. Jumlah itu memang turun dibandingkan dengan 378 IUP pada 2012.
Walakin, secara luasan, cakupan pertambangan meluas. Dengan 378 IUP pada 2012, cakupan konsesi pertambangan hanya 86.904 hektare. Pada 2016, dengan 347 IUP, cakupan konsesi pertambangan mencapai 551.649 hektare. Dalam empat tahun, kenaikan areal konsesi pertambangan lebih dari lima kali lipat tepatnya 535 persen.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan, temuan timbunan sampah plastik dan limbah B3 di bantaran Sungai Brantas di Sidoarjo, Surabaya, Gresik, dan Mojokerto menandakan lemahnya komitmen Pemprov Jatim dalam pencegahan pencemaran.
“Bahkan, komitmen untuk memulung popok di Sungai Brantas secara rutin hanya lip service,” kata Prigi. Khofifah diingatkan dengan janjinya di awal masa memerintah pada Februari 2019 akan secara rutin setiap minggu turun ke Sungai Brantas untuk memulung popok bekas. Jika berhalangan, kegiatan akan dilaksanakan oleh Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak. Namun, setelah memulung pertama kali, tiada lagi Khofifah atau Emil turun ke sungai.
Pengirim sampah
Catatan Ecoton, Amerika Serikat merupakan negara terbesar pengirim sampah ke Indonesia, termasuk Jatim. Jumlahnya diperkirakan 56.000 ton sepanjang 2018. Masalahnya, sampah yang dikirim ke Indonesia diselipkan dalam bahan baku kertas. Sampah-sampah itu juga tidak bisa didaur ulang dan berbahaya. Akibatnya, di Jatim, misalnya, sampah-sampah ditimbun salah satunya di sempadan Sungai Brantas di wilayah Mojokerto, Sidoarjo, dan Gresik.
Tim Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak sebelumnya memeriksa delapan peti kemas asal Australia yang berisi sampah plastik bercampur limbah B3. Selain itu, 38 kontainer dengan isi serupa dari AS. Sebelum kedatangan 38 peti kemas itu, Indonesia mengirim balik 5 kontainer isi sampah ke AS. “Ini bukti rendahnya komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup,” ujar Prigi.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Jatim Diah Susilowati menyatakan, penghargaan kepada BSI diberikan karena selama ini pengelolaan lingkungan perusahaan tersebut baik. Pemerintah mengklaim kualitas udara, mutu air, dan reklamasi oleh BSI telah memenuhi standar. “Tidak semua pembangunan itu merusak,” katanya berdalih.
Tidak semua pembangunan itu merusak
Untuk BSI menurut Diah mengantongi izin penambangan dengan konsei 605 hektare. Dari jumlah itu, yang ditambang hanya 80 hektare secara bertahap. Lahan yang sudah ditambang juga direhabilitasi dan prosesnya dipantau secara ketat oleh tim yang salah satu anggotanya adalah pemerintah.