Pemerintah Kota Cirebon berkomitmen mengembangkan kawasan pesisir sepanjang 7 kilometer sebagai destinasi wisata. Namun, pengembangan tersebut terkendala keterbatasan kewenangan, pencemaran sampah, hingga sedimentasi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah Kota Cirebon berkomitmen mengembangkan kawasan pesisir sepanjang 7 kilometer sebagai destinasi wisata. Namun, pengembangan tersebut terkendala keterbatasan kewenangan, pencemaran sampah, hingga sedimentasi.
Hal ini terungkap dalam diskusi terarah dengan tema ”Potensi dan Permasalahan Pengembangan Kawasan Pesisir Kota Cirebon” di Metland Hotel Cirebon, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019). Hadir dalam acara itu Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Rokhmin Dahuri.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (BP4D) Kota Cirebon Arif Kurniawan dan Kepala Dinas Pangan Pertanian Kelautan dan Perikanan (DPPKP) Kota Cirebon Yati Rohayati juga turut hadir. Diskusi terfokus itu diikuti sejumlah camat, nelayan, dan komunitas di Cirebon.
”Dulu, sebelum kemerdekaan, Cirebon menjadi kota terdepan di Jabar karena punya pelabuhan. Namun, sekarang, saya tidak malu mengakui kalau Kota Cirebon tertinggal di Jabar. Pengembangan kawasan harus terus dilakukan,” ujar Azis.
Menurut Yati, pengembangan kawasan pesisir antara lain dengan menjadikan bangkai KRI Gajahmada yang karam pada 5 Januari 1974 sebagai obyek wisata bahari. Lokasinya sekitar 8 kilometer dari garis pantai. Pihaknya juga berencana membuat dermaga, pemancingan, dan waterboom tengah laut.
Namun, kondisi pesisir Cirebon kini diselimuti berbagai masalah. Di bibir pantai Kelurahan Cangkol, Kecamatan Lemahwungkuk, misalnya, sampah menumpuk sepanjang 30 meter dan melebar hingga 5 meter. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan pesisir Samadikun Selatan, Kesenden. Sampah plastik, karet, hingga logam bertaburan di sana.
”Sampah itu sengaja ditumpuk warga agar menjadi tanah timbul. Apalagi, sedimentasi terus terjadi. Tanah timbul ini dikuasai masyarakat hampir sepanjang 7 kilometer garis pantai Kota Cirebon dari Kelurahan Pegambiran hingga Kesenden,” ujar Yati.
Sampah itu sengaja ditumpuk warga agar menjadi tanah timbul. Apalagi, sedimentasi terus terjadi. Tanah timbul ini dikuasai masyarakat hampir sepanjang 7 kilometer garis pantai Kota Cirebon dari Kelurahan Pegambiran hingga Kesenden.
Akibatnya, pihaknya kesulitan untuk menata wilayah pesisir karena tanah di sekitarnya diklaim milik masyarakat. Padahal, tanah timbul itu telah berlangsung bertahun-tahun. ”Sayangnya, belum ada peraturan daerah mengenai kepemilikan tanah timbul tersebut,” katanya.
Zaenal Abidin, warga Kesunean, meminta Pemkot Cirebon mendekati warga yang mengaku memiliki tanah timbul tersebut untuk menata kawasan pesisir. “Tanah timbul itu sudah ada yang dijual ke warga,” ucapnya.
Persoalan lainnya adalah pendangkalan sungai. Di Sungai Cipadu yang berada di kawasan Keraton Kasepuhan, misalnya, mengalami pendangkalan dari lebar sungai 10 meter menjadi hanya 1,5 meter. Padahal, Keraton Kasepuhan menjadi salah satu destinasi wisata andalan.
Di sisi lain, menurut Arif, kewenangan atas pesisir di Kota Cirebon berada di PT Pelindo II (Persero) cabang Cirebon, pengelola Pelabuhan Cirebon. Salah satu problem yang mendesak diselesaikan adalah bongkar muat batubara di pelabuhan.
”Tidak mungkin kita mengajak wisatawan ke pesisir tetapi banyak debu batubara. Sebenarnya, sudah ada Rencana Induk Pelabuhan Cirebon untuk menata batubara ini. Namun, kami belum tahu kelanjutannya. Butuh waktu lebih dari lima tahun untuk mengembangkan kawasan pesisir Kota Cirebon,” katanya. Untuk itu, pihaknya bakal berkoordinasi dengan PT Pelindo II Cabang Cirebon.
Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pintu masuk wisatawan mancanegara ke Kota Cirebon. Pertengahan Juli lalu, kapal Silver Discoverer yang membawa 98 turis tiba di Pelabuhan Cirebon sekitar sembilan jam. Dari pelabuhan, sekitar 80 turis mengikuti tur keliling Cirebon naik becak. Meski demikian, pelabuhan yang dibangun sejak masa kolonial itu tidak punya dermaga khusus dan terminal penumpang.
Rokhmin Dahuri menilai, Pemkot Cirebon harus segera membuat tata ruang kota yang mengakomodasi pembenahan pesisir. Dengan kehadiran Pelabuhan Cirebon, Bandara Kertajati di Majalengka, Tol Cikopo-Palimanan, dan jalur kereta, Cirebon berpeluang menjadi destinasi wisata bahari.
Di sisi lain, pengembangan kawasan pesisir akan memacu produksi perikanan di Cirebon. Tahun lalu, produksi perikanan di kota seluas 37 kilometer persegi itu mencapai 4.437 ton.
”Padahal, potensi perikanan tangkap mencapai 1,3 juta ton per tahun. Artinya, nelayan baru memanfaatkan 0,3 persen. Untuk memaksimalkannya, nelayan harus melaut lebih dari sehari dan infrastruktur, seperti kapal dan tempat pelelangan ikan, dibenahi,” ujarnya.
Rokhmin mengingatkan, pengembangan kawasan pesisir Kota Cirebon harus melibatkan nelayan dari perencanaan hingga pelaksanaan. Dengan begitu, rencana pemerintah menjadikan Cirebon sebagai destinasi wisata bahari dapat terwujud.
”Kuncinya, kreatif dan kolaborasi dengan berbagai pihak,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut.