Dana Desa Dialokasikan Menangani Tengkes dan Tata Kelola Sampah di Lombok Barat
Program penanganan stunting (bayi bertubuh pendek atau tengkes) dan tata kelola sampah di desa di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dialokasikan dari dana desa. Untuk alokasi dana desa itu perlu dianggarkan khusus dan disebutkan besarannya sebagai pegangan pendamping dan kepala desa mengeksekusi dua program itu di desa.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Program penanganan stunting (bayi bertubuh pendek atau tengkes) dan tata kelola sampah di desa di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dialokasikan dari dana desa. Untuk alokasi dana desa itu perlu dianggarkan khusus dan disebutkan besarannya sebagai pegangan pendamping dan kepala desa mengeksekusi dua program itu di desa.
”Penanganan stunting agar diberikan tekanan dalam peraturan bupati. Walaupun sudah diprogramkan, banyak desa bervariasi dalam pengalokasian anggaran dan kegiatannya,” kata tenaga ahli pendamping, Esti Dyah Apsari, dalam dialognya dengan Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid di kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Lombok, Giri Menang, Senin (8/7/2019).
Sebanyak 64 orang yang meliputi tenaga ahli, tenaga pendamping desa, dan pendamping lokal desa, se-Lombok Barat hadir dalam pertemuan itu.
Bupati Fauzan Khalid minta para pendamping terlibat dan aktif memfasilitasi pemerintah desa untuk menyinergikan program pembangunan desa sesuai skala prioritas pemerintah daerah dan pusat.
Kami terkendala lahan pengolahannya karena dana desa tidak bisa dipergunakan untuk membeli lahan ataupun sewa lahan.
Keterlibatan itu dari perencanaan, pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), penetapan dan pelaksanaannya. RPJMDes mempedomani RPJM daerah, RPJM provinsi, dan RPJM nasional.
Prioritas pembangunan
Prioritas pembangunan di Lombok Barat di antaranya penanganan stunting, tata kelola sampah, dan UKM yang membutuhkan kerja sama pemerintah pusat, daerah, dan khususnya pemerintah desa sebagai tonggak terdepan pembangunan. Di Lombok Barat, stunting menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani.
Prevalensi stunting di kabupaten itu relatif tinggi, 32,01 persen tahun 2018 atau jauh menurun dibandingka tahun 2007 yang mencapai 49,8 persen. ”Saat ini menurun lagi secara sangat signifikan. Berdasarkan sensus balita Maret 2019, menjadi 25,04 persen. Artinya, Lombok Barat masih di atas ambang batas 20 persen versi WHO,” ujar Fauzan.
Dalam komentarnya, Esti mengatakan, sinkronisasi, integrasi, dan asas komplemantaritas untuk penanganan stunting di Lombok Barat harus jelas disebutkan dalam Peraturan Bupati tentang pemanfaatan dana desa dan alokasi dana desa.
Meski jumlahnya tiap desa berbeda, besaran anggaran stunting dan tata kelola sampah sebagai pedoman dalam implemetasinya di lapangan.
Alokasi anggaran saat ini cukup besar sehingga desa bisa melaksanakan pembangunan secara mandiri.
Soal tata kelola sampah, kata Sahri, pendamping lokal desa di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, misalnya program Osamtu (Olah Sampah Terpadu) yang pengelolaannya melibatkan semua pihak, menghadapi kendala. ”Kami terkendala lahan pengolahannya karena dana desa tidak bisa dipergunakan untuk membeli lahan ataupun sewa lahan,” katanya.
Lombok Barat terdiri atas 119 desa diperkuat 37 tenaga pendamping lokal desa, 4 tenaga ahli, 21 tenaga pendamping 10 kecamatan kabupaten itu serta 2 operator komputer. ”Ini jauh dari ideal yang mestinya tiap desa memiliki tenaga pendamping,” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Lombok Barat Lalu Edy Sadikin.
Kendati jumlahnya belum seimbang, kehadiran para pendamping ini dibutuhkan bagi mempercepat kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat.
Dana desa bagi Kabupaten Lombok Barat dari APBN 2019 sebesar Rp 155 miliar atau meningkat dari Rp 128 miliar pada 2018. Sementara alokasi dana desa dari APBD Kabupaten Lombok Barat 2019 sebanyak Rp 84 miliar sehingga tiap desa di kabupaten mengelola Rp 2 miliar.
”Alokasi anggaran saat ini cukup besar sehingga desa bisa melaksanakan pembangunan secara mandiri,” tutur Edy.