Pasar Terbuka, Produktivitas Edamame Harus Digenjot
Komoditas edamame yang diproduksi di Jawa Tengah berpotensi berkembang seiring kian terbukanya pasar ekspor. Namun, produktivitas perlu digenjot dengan mengenalkan komoditas ini kepada petani secara luas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Komoditas edamame yang diproduksi di Jawa Tengah berpotensi berkembang seiring kian terbukanya pasar ekspor. Namun, produktivitas perlu digenjot dengan mengenalkan komoditas ini kepada petani secara luas. Hal itu agar permintaan ekspor dapat dipenuhi sekaligus menjaga keberlanjutan pasokan.
Koordinator Fungsional Karantina Tumbuhan Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang Heri Widarta, Jumat (5/7/2019), mengatakan, berdasarkan kontrak, pada 2019, akan diekspor 480 ton edamame ke Belanda. Namun, hingga awal Juli 2019 atau tahap pertama, baru 44 ton yang dipenuhi.
"Permintaan ekspor edamame sebenarnya sangat tinggi dengan nilai ekspor mencapai Rp 1,1 miliar setiap pengiriman sebanyak 40 ton. Komoditas ini sangat potensial untuk terus dikembangkan. Tingkat produksinya perlu terus ditingkatkan agar ada keberlanjutan," kata Heri.
Pada Rabu (3/7), Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian Ali Jamil, beserta sejumlah pejabat dan pelaku usaha melepas ekspor 44 ton edamame ke Belanda. Setelah Jepang dan Amerika Serikat (AS), ini pertama kalinya edamame dari Jateng diekspor ke Belanda. Eksportirnya adalah PT Kenkyo Tech Industry Semarang.
Edamame yang diekspor tersebut merupakan hasil panen dari Kabupaten Temanggung, Wonosobo, dan Magelang. Sejak 2017, edamame dari Jateng rutin diekspor ke Jepang sebulan sekali (40 ton setiap pengiriman). Sementara untuk tujuan AS dan Belanda baru dilakukan tahun ini.
Heri menuturkan, di Jateng, edamame, yang biasa dikonsumsi sebagai camilan, baru dikembangkan di Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Magelang, dan Kendal. Adapun syarat budidaya edamame yakni ditanam pada ketinggian 500-600 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Benih edamame berasal dari Jepang, tetapi tumbuh baik di Indonesia, khususnya di dataran tinggi. "Memang belum begitu populer di kalangan petani, karena itu perlu terus dikenalkan. Saat ini masih dalam tahap perluasan area tanam. Adapun nilai jualnya Rp 30.000 per kilogram," ujar dia.
Pengiriman dalam keadaan beku agar kualitas terjaga hingga negara tujuan.
Pegawai Fungsional Karantina Tumbuhan Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang Suciati menambahkan, oleh eksportir, edamame disortir, diolah, dikemas, kemudian dibekukan. "Pengiriman dalam keadaan beku agar kualitas terjaga hingga negara tujuan," katanya.
Ganjar, dalam keterangannya, menuturkan, ekspor edamame serta sejumlah produk lain seperti bunga melati, sarang burung walet, dan daun sirsak kering menunjukkan potensi pertanian Jateng sangat besar. Karena itu, pembinaan dan pendampingan kepada para petani di Jateng akan terus ditingkatkan.
"Harus ada pembinaan dari hulu sampai hilir. Kalau pasar bagus tapi produk kurang, maka tugas hulu menggenjot produktivitas. Dinas sudah saya perintahkan mencari pertanian yang punya potensi ekspor tinggi untuk didampingi. Di hilirnya bertugas mencari potensi pasar yang bagus di luar," ujar Ganjar.
Ganjar juga menekankan pentingnya "big data". Dengan itu, pihaknya dapat mengkonsolidasikan seluruh aspek dari hulu sampai ke hilir sehingga semua komoditas pertanian di Jateng dapat terpantau dengan baik.