Energi Baru dan Terbarukan Tingkatkan Kualitas Udara
Infrastruktur termasuk di bidang energi merupakan sebuah kebutuhan bagi negara berkembang. Namun, prinsip berkelanjutan mesti dipertahankan melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan, antara lain untuk perbaikan kualitas udara.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kebutuhan infrastruktur termasuk di bidang energi merupakan sebuah kebutuhan bagi negara berkembang. Namun, prinsip berkelanjutan mesti dipertahankan melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan, antara lain untuk perbaikan kualitas udara.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono mengatakan, salah satu program pemerintah pusat adalah pembangunan pembangkit 35.000 megawatt (MW) listrik. Hal itu demi pemerataan pasokan listrik hingga daerah terpencil, serta mendorong pertumbuhan industri dan wilayah.
”Di Jateng, kami mendorong energi baru dan terbarukan, seperti pembangkit listrik panas bumi, air, dan mikrohidro,” kata Teguh di sela-sela bedah buku dan diskusi Udara Bersih dan Pembangunan Berkelanjutan di Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Selasa (18/6/2019) sore.
Teguh mencontohkan, pemanfaatan energi baru dan terbarukan antara lain proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Baturraden, Kabupaten Banyumas. Selain itu, juga ada lebih dari 50 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang tersebar di sejumlah daerah di Jateng.
Menurut dia, saat semua proyek pemanfaatan energi baru dan terbarukan rampung, kualitas udara dapat meningkat. ”Termasuk akan mengurangi dampak sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara,” ujar Teguh.
Menurut indeks kualitas udara 35 kabupaten/kota se-Jateng 2018, Kabupaten Karanganyar menjadi daerah dengan nilai terendah (69,66), lalu Pati (70,03), dan Kendal (71,65). Adapun Kabupaten Rembang menjadi daerah dengan nilai terbaik (93,73), disusul Cilacap (92,00) dan Blora (90,62).
Energi baru dan terbarukan termasuk akan mengurangi dampak sejumlah pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara.
Teguh menuturkan, upaya menekan pencemaran udara juga dilakukan dengan konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) pada 72 unit bus Trans-Semarang. Ke depan, hal serupa diharapkan juga diterapkan pada armada Trans-Jateng, yang merupakan angkutan aglomerasi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin menuturkan, upaya pengendalian pencemaran udara dan gas rumah kaca dapat dilakukan sejalan dengan pemicu pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada biaya tinggi, hal itu penting untuk keberlanjutan.
Ia mencontohkan perkembangan teknologi rendah emisi pada kendaraan. ”Teknologi tersebut merupakan trigger (pemicu) pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya saing produk barang dan jasa,” ujar Safrudin.
Dosen Teknik Lingkungan Undip, Haryono S Huboyo, menambahkan, Indonesia dapat melihat China yang udaranya tercemar seiring peningkatan aktivitas transportasi. Kini, pengawasan pun diperketat, termasuk penataan sejumlah aturan, demi menekan pencemaran udara.