Awal Mei lalu, sekitar 70 siswa SDN 003 Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, berkumpul di lapangan sekolah. Para guru berdiri di tepi lapangan mengikuti upacara. Di bawah matahari yang terik,ada mimpi-mimpi dari desa yang masih sulit mengakses internet itu.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Awal Mei lalu, sekitar 70 siswa SDN 003 Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, berkumpul di lapangan sekolah. Para guru berdiri di tepi lapangan mengikuti upacara. Di bawah matahari yang terik, ada mimpi-mimpi dari desa yang masih sulit mengakses internet itu.
Silvanus Silam Luhat, sang kepala sekolah, dalam pidatonya berharap guru dan anak didiknya bisa memiliki sifat tekun laiknya orang-orang Jepang. Pada akhir Perang Dunia II, Agustus 1945, bom atom meluluhlantakkan Hiroshima. Lima tahun kemudian, Jepang mulai terlihat kebangkitannya.
Silam mengatakan, kegigihan untuk bangkit, seperti orang-orang Jepang, dimiliki oleh semua orang. Ia berharap anak didiknya bisa membangkitkan semangat itu. ”Mereka bahkan menguasai teknologi dan otomotif. Anak-anakku, jangan patah semangat untuk belajar,” ujarnya.
Saat itu siswa dan guru mengenakan pakaian adat Dayak untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Matahari sudah terik pukul 9.00 Wita. Anak-anak dan guru tetap berdiri di tengah sekolah mereka yang terbuat dari dinding kayu.
Setelah upacara, langit perlahan redup. Anak-anak berhamburan ke lapangan. Para guru membagi anak-anaknya ke dalam beberapa kelompok untuk mengikuti kuis. Anak-anak terlihat antusias duduk di lapangan. Ada yang mencatat jawaban, sisanya menghitung atau mendengarkan baik-baik soal yang dibacakan melalui pengeras suara.
Mereka bahkan menguasai teknologi dan otomotif. Anak-anakku, jangan patah semangat untuk belajar.
Keriangan itu seolah menutupi kesulitan para guru dan siswa dalam menjalani proses belajar mengajar. Pengeras suara itu bisa bekerja berkat genset pinjaman dari gereja di desa itu. Sudah setahun genset milik sekolah tidak berfungsi.
”Genset milik sekolah bisa hidup, tetapi tidak menghantarkan listrik. Pihak gereja berbaik hati meminjamkan genset selama tidak dipakai untuk kepentingan gereja,” ujar Silam.
Pihak sekolah menggunakan genset itu untuk operasional sehari-hari, seperti menghidupkan printer dan laptop. Para guru dan tenaga administrasi di sekolah menggunakannya untuk berbagai kebutuhan sekolah, seperti menyusun laporan dan mencetak bahan ajar.
Sekolah ini terletak di tepi Sungai Mahakam bagian hulu. Sebanyak 133 keluarga bermukim di antara hutan Kalimantan Timur yang rapat. Jalan darat tak ada yang menjangkau antardesa. Menggunakan perahu bermesin menyusuri Sungai Mahakam adalah akses paling mudah jika ingin bepergian.
Kondisi di muka membuat akses internet belum masuk ke desa ini. Gawai yang dimiliki penduduk digunakan untuk memotret, merekam video, telepon, dan SMS. Sebelumnya, seorang warga membuka jasa penggunaan internet satu-satunya di desa itu. ”Pada malam Paskah tempo hari, petir menyambar desa kami. Penangkap sinyal internet di rumah saya ikut rusak juga,” kata Martinus, penyedia layanan internet.
Hal itu menyulitkan pihak sekolah untuk melaporkan data pokok pendidikan (dapodik) yang harus dilaporkan setiap tiga bulan. Akses internet terdekat ada di Kecamatan Long Pahangai yang bisa ditempuh sekitar 1 jam menggunakan perahu.
Pada malam Paskah tempo hari, petir menyambar desa kami. Penangkap sinyal internet di rumah saya ikut rusak juga
Setiap melaporkan dapodik, pihak sekolah harus mengeluarkan biaya Rp 100.000-Rp 150.000 untuk biaya transpor dan internet. Silam mengatakan, proses pelaporan tak selalu berjalan mulus. Kerap kali internet di kecamatan ada gangguan sehingga butuh waktu lama untuk entri data sekolah. Jika dapodik tidak dilaporkan, bantuan biaya operasional sekolah bisa tertunda.
”Saat ini internet belum ada di desa kami. Jalur darat juga tidak ada. Kami harus bersiasat, itu sudah tanggung jawab kami,” ujar Silam.
Akses
Akses ke Desa Long Tuyoq memang tidak mudah. Jika menggunakan perahu dari pusat pemerintahan Kabupaten Mahakam Ulu, jarak tempuhnya sekitar 2 jam dengan melewati banyak riam atau jeram di sungai. Persoalan akses ini juga kerap mengganggu kegiatan belajar mengajar.
”Kita sudah pesan buku jauh hari sebelumnya, tetapi buku baru sampai setelah satu semester kemudian,” ujar Silam.
Buku panduan itu penting untuk anak didik sebab mereka butuh materi terkini yang sesuai dengan kurikulum dari pemerintah. Para guru akhirnya menyiasati untuk meminjam beberapa buku ke sekolah terdekat yang sudah memiliki buku ajar terbaru.
Silam dan para guru juga berinisiatif menggunakan buku panduan yang lama, tetapi dengan penyesuaian materi khusus kurikulum yang baru. Para guru menyiasati mencari materi ketika ada kesempatan ke luar desa dan bisa mengakses internet.
Wakil Bupati Mahakam Ulu Y Juan Jenau, Sabtu (4/5/2019), di Kecamatan Long Bagun, Mahakam Ulu, mengatakan, tantangan utama di kabupaten yang baru berusia enam tahun itu adalah akses. Antardesa terpisah hutan. Jika ditempuh menggunakan long boat, ada desa yang perlu waktu tempuh hingga 4 jam dari satu desa ke desa lain.
Proyek jalan Trans-Kalimantan yang digalakkan pemerintah pusat diharapkan memudahkan pembangunan di Mahakam Ulu. ”Kalau transportasi sudah mudah, tidak perlu lagi menggunakan transportasi air karena jalur darat lebih murah dan mudah,” katanya.
Di wilayah Mahakam Ulu, saat ini proyek nasional jalan Trans-Kalimantan dalam tahap pembukaan lahan, yakni dari Kecamatan Ujoh Bilang sampai Long Pahangai sepanjang 300 kilometer. Sudah dibangun pula sembilan jembatan untuk memudahkan mobilitas masyarakat serta mendukung pembangunan jalan.
Pemerintah Mahakam Ulu sedang menyiapkan konsep pengelolaan lahan untuk masyarakat di sekitar jalan. Saat ini, sebagian besar masyarakat tinggal di kawasan tepi Sungai Mahakam Ulu. ”Jika jalan sudah jadi, dimungkinkan masyarakat akan berpindah mendekati jalan sebab akses apa pun akan lebih mudah,” kata Juan.
Mimpi
Meski akses jalan dan internet belum mudah, mimpi-mimpi besar berhamburan di antara rimbun pepohonan Desa Long Tuyoq. Maria Murdini (55), orangtua Oliv (9), siswa SDN 003 Long Tuyoq, berharap anaknya bisa sekolah sampai jenjang sarjana meski ia belum ada bayangan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan.
”Saya hanya berdoa dan berusaha supaya anak saya bisa sekolah setinggi-tingginya. Dia suka Matematika. Nanti mau jadi apa saja, saya dukung,” ujar Murdini, keturunan Jawa yang menikah dengan suku Dayak di desa itu.
Biaya sekolah bagi warga Desa Long Tuyoq tidak murah. Meski biaya pendidikan gratis, SMP dan SMA hanya ada di luar desa. Biaya transportasi sekali naik perahu bisa ratusan ribu.
Untuk menyiasatinya, anak dititipkan di keluarga yang tinggal di dekat sekolah. Jika tak ada, orangtua harus memondokkan anaknya. Setidaknya biaya makan dan tempat tinggal harus ditanggung orangtua.
Oliv yang baru duduk di kelas 2 SD belum membayangkan masa depannya seperti apa. Yang ia harap, ia ingin terus bisa belajar Matematika. ”Enggak tahu. ingin belajar Matematika terus,” katanya sambil duduk di samping ibunya.