Pelaksanaan pleno rekapitulasi suara Pemilu 2019 tingkat provinsi di Sulawesi Utara berpotensi melampaui target awal selesai dalam tiga hari. Sebab, rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum Manado belum selesai. Beberapa saksi juga menyatakan keberatan dengan hasil penghitungan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pelaksanaan pleno rekapitulasi suara Pemilu 2019 tingkat provinsi di Sulawesi Utara berpotensi melampaui target awal selesai dalam tiga hari. Sebab, rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum Manado belum selesai. Beberapa saksi juga menyatakan keberatan dengan hasil penghitungan.
Hari ketiga rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut, Rabu (8/5/2019), menyisakan pengesahan hasil penghitungan suara di enam dari 15 kabupaten/kota. Keenam daerah tersebut adalah Minahasa Utara, Minahasa, Minahasa Selatan, Bitung, Kotamobagu, dan Manado.
Ketua KPU Sulut Ardiles Mewoh mengatakan, pleno sebenarnya masih mungkin selesai pada Selasa malam jika rekapitulasi oleh KPU Manado rampung sebelum malam hari. Rekapitulasi masih menyisakan dua dari 11 kecamatan di ibu kota provinsi tersebut.
”Kalau bisa tuntas segera, kami lanjutkan biarpun sampai larut malam. Tapi, paling lambat kami targetkan selesai besok (Kamis, 9/5/2019),” kata Ardiles.
Sesuai jadwal yang ditetapkan KPU, rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota paling lambat selesai pada Rabu. Ardiles memberi toleransi bagi KPU Manado hingga Kamis dini hari.
Kalau bisa tuntas segera, kami lanjutkan biarpun sampai larut malam. Tapi, paling lambat kami targetkan selesai besok (Kamis, 9/5/2019).
Adapun hasil penghitungan suara di tingkat provinsi paling lambat selesai pada Minggu (12/5/2019). Tahapan selanjutnya di tingkat pusat dijadwalkan rampung pada 22 Mei. ”Jadi kami masih sesuai timeline KPU,” tambah Ardiles.
Ketua KPU Manado Sunday Rompas mengatakan, rekapitulasi terhambat akibat perbedaan data pemilih di Kecamatan Tuminting dan Malalayang. Pembandingan antara data saksi dan data KPU maupun Bawaslu Manado sedang berlangsung.
Keberatan saksi
Potensi proses rekapitulasi melampaui target juga disebabkan adanya keberatan saksi, antara lain terkait hasil pemilu di Kabupaten Bolaang Mongondow dan Minahasa Utara. Saksi dari PDI-P, Lucky Sondakh, mengatakan, terdapat beberapa pemilih tanpa KTP-el yang diperbolehkan memilih tanpa surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bolaang Mongondow.
”Ada juga yang mencoblos beberapa kali untuk DPD dan DPRD provinsi. Kami baru mendapatkan informasi itu tadi malam dan sedang mencari informasi. Tolong beri waktu untuk kami mencari. Kalau terbukti ada kesalahan, akan kami laporkan,” kata Lucky dalam pleno.
Atas rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulut, hasil penghitungan suara tetap dibacakan, tetapi akan disahkan di akhir pleno. Data temuan saksi partai akan dibandingkan dengan data KPU dan Bawaslu.
Ada juga yang mencoblos beberapa kali untuk DPD dan DPRD provinsi. Kami baru mendapatkan informasi itu tadi malam dan sedang mencari informasi. Tolong beri waktu untuk kami mencari. Kalau terbukti ada kesalahan, akan kami laporkan.
Ardiles mengatakan, kerancuan serupa dapat diakibatkan kekeliruan pencatatan di tempat pemungutan suara (TPS). Hal itu dinilai tidak akan menghambat rekapitulasi di tingkat Sulut. ”Kalau ada perbedaan data, akan kami koreksi berdasarkan bukti-bukti yang ada,” katanya.
Ketua Bawaslu Sulut Herwyn Malonda mengatakan, kesalahan penghitungan suara bisa diselesaikan dengan pembandingan data dalam pleno. Namun, jika ada dugaan pelanggaran atau kecurangan dalam proses pemilu, saksi dianjurkan melapor kepada Bawaslu.
”Jika ada dugaan pelanggaran yang disertai bukti kuat, Bawaslu akan segera bertindak, maksimal 10 hari sebelum pengesahan suara di tingkat pusat. Di luar itu, sudah menjadi ranah Mahkamah Agung. Bawaslu tetap akan memberikan keterangan mengenai masalah yang dihadapi,” katanya.
Pengamat politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando, mengatakan, masalah perbedaan data pemilih yang ditemukan selama pleno rekapitulasi umum ditemui di sejumlah provinsi lain. Namun, perbedaan data tersebut tidak selalu berarti kecurangan.
”Rentang waktu antara keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang pindah memilih dengan pelaksanaannya di lapangan seharusnya tidak terlalu pendek. Setidaknya perlu dua tahun. KPU perlu mengubah PKPU, kemudian melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis kepada masyarakat dan penyelenggara pemilu,” kata Ferry.