Penyelesaian pembangunan Jalan Tol Medan – Binjai di Sumatera Utara menemukan titik terang setelah ada diskresi pemerintah. Pembangunan telah tertunda selama hampir lima tahun.
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Penyelesaian pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai di Sumatera Utara menemukan titik terang setelah ada diskresi pemerintah. Ganti rugi sebagian lahan selama ini tidak dapat dilakukan karena lahan diduduki warga, tetapi ada pihak lain yang punya sertifikat hak milik. Kini disepakati warga mendapat 70 persen dan pemilik sertifikat 30 persen dari ganti rugi lahan.
Sebanyak 456 keluarga yang menduduki lahan tersebut sudah sepakat dengan mekanisme itu. Namun, tiga dari sembilan pemilik sertifikat atas lahan itu belum setuju dengan metode pembagian tersebut.
”Bagi pihak yang tidak sepakat dengan mekanisme ini, kami akan titipkan uang konsinyasi ke pengadilan,” kata Ketua Pengadaan Lahan yang juga Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara Bambang Priono saat menghadiri pembayaran ganti rugi kepada sebagian warga, di Medan, Kamis (21/3/2019).
Bambang mengatakan, untuk tahap pertama, pemerintah melakukan pembayaran kepada 52 keluarga. Pembayaran untuk warga lainnya dan pihak yang memiliki sertifikat ditargetkan tuntas dalam satu bulan ke depan menunggu kelengkapan administrasi.
Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai sepanjang 16,8 kilometer dimulai sejak tahun 2015. Sepanjang 10,46 kilometer di antaranya dari Gerbang Tol Helvetia sampai Gerbang Tol Binjai sudah beroperasi sejak 2017. Namun, 6 kilometer lainnya belum tersambung karena terkendala pembebasan lahan 1,5 kilometer di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir.
Padahal, sambungan tol itu sangat penting karena menghubungkan Jalan Tol Medan-Binjai dengan ruas tol yang sudah ada, yakni Belawan-Medan-Tanjung Morawa sepanjang 34 kilometer dan Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 61,8 kilometer. Jika sudah tersambung, Jalan Tol Medan-Binjai akan terhubung ke Kota Medan, Pelabuhan Belawan, Bandara Kualanamu, hingga Kota Tebing Tinggi.
Bambang mengatakan, pembangunan jalan tol terputus sepanjang 1,5 kilometer karena sulitnya pembebasan lahan. Lahan itu sudah lebih dari 70 tahun diduduki warga secara turun-temurun. ”Namun, belakangan muncul sembilan orang yang mempunyai sertifikat atas lahan itu. Mereka dapat sertifikat dari hasil lelang di bank,” katanya.
Pembayaran kepada warga pun tidak bisa dilakukan karena tidak punya alas hak. Untuk memecah kebuntuan, diskresi dikeluarkan pada rapat bersama antara kementerian terkait, Polri, dan Kejaksaan Agung di Jakarta, akhir Februari lalu. Diskresi itu mengizinkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membagi ganti rugi kepada warga dan pihak yang punya sertifikat.
Wali Kota Medan Dzulmi Eldin pun meminta warga mendukung program pembangunan jalan tol tersebut. Penyelesaian pembangunan jalan tol itu sangat penting untuk pembangunan kawasan Medan, Binjai, Deli Serdang atau Mebidang. Eldin mengatakan, ganti rugi yang diterima warga termasuk cukup dengan besaran Rp 233 juta sampai Rp 1,9 miliar per keluarga, tergantung dari luas lahan.
Pimpinan Proyek Tol Medan-Binjai PT Hutama Karya Hestu Budi mengatakan, mereka akan memulai pekerjaan konstruksi di lahan tersebut pada April ini setelah warga menerima ganti rugi dan mengosongkan rumah. ”Kami targetkan akhir tahun ini Jalan Tol Medan-Binjai sudah beroperasi penuh,” katanya.
Pekerjaan konstruksi di lahan tersebut termasuk rumit karena menyatukan dua ruas tol sekaligus menjadi gerbang tol. Di Gerbang Tol Tanjung Mulia tersebut akan dibangun simpang susun sampai tiga lapis jalan layang dengan 10 jalur jalan.
Suryanto (64), warga Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, mengatakan, mereka sudah sepakat dengan pembagian ganti rugi lahan. Pada awal negosiasi, warga tidak setuju karena ditawarkan 30 persen dan pemilik sertifikat 70 persen. ”Kami tidak tahu mengapa tiba-tiba ada yang punya sertifikat di lahan kami. Padahal, saya lahir tahun 1955 di rumah itu. Ayah saya juga sudah puluhan tahun tinggal di rumah itu,” katanya.
Suryanto mengatakan, warga tidak kenal dengan nama-nama orang yang mempunyai sertifikat atas lahan mereka.