SIDOARJO, KOMPAS — Praktik pelanggaran di bidang karantina dan keamanan hayati ikan tahun ini diprediksi masih marak sehingga perlu diwaspadai dan diantisipasi. Secara kuantitatif, frekuensi pelanggaran perikanan di Jawa Timur selama 2018 tercatat 42 kasus atau merupakan jumlah kasus terbesar ketiga di Indonesia setelah Makassar dan Aceh.
Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya I mencatat, dari 42 kasus pelanggaran perikanan itu, total nilai barangnya mencapai Rp 64 miliar.
”Pelanggaran banyak didominasi penyelundupan benih lobster dan penjualan lobster yang tidak sesuai dengan syarat penangkapan, yakni memiliki karapas dengan ukuran di atas 8 sentimeter (cm),” ujar Kepala BKIPM Surabaya I Muhlin, Minggu (13/1/2019).
Sebagai gambaran, dari 42 kasus pelanggaran perikanan, 24 kasus di antaranya merupakan penyelundupan benih lobster dan ada empat kasus perdagangan lobster yang tidak memenuhi syarat karena di bawah ukuran yang ditentukan. Adapun kasus lain yang menyita perhatian publik adalah pelepasliaran ikan berbahaya Arapaima Gigas di Sungai Brantas.
Muhlin mengatakan, maraknya penangkapan dan penyelundupan benih lobster karena kawasan di pesisir Jatim merupakan habitat alami lobster jenis pasir dan mutiara yang bernilai ekonomi tinggi. Penangkapan biasanya dilakukan oleh nelayan lokal dan dijual ke pengepul.
Harga jual yang tinggi menjadi daya tariknya. Sebagai gambaran, harga benih lobster di nelayan Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per kilogram (kg), sedangkan di luar negeri Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per ekor.
Penyelundupan benih lobster ini, ujarnya, merupakan tindak pidana yang bertentangan undang-undang kepabeanan dan undang-undang karantina ikan. Penyelundup terancam hukuman minimal setahun kurungan dan paling lama lima tahun kurungan. Selain itu, penyelundup juga terancam hukuman denda maksimal Rp 5 miliar.
Pelestarian
Penyidik BKIPM Surabaya 1 Hendri Gustrifandi menambahkan, penindakan yang dilakukan terhadap praktik pelanggaran di bidang perikanan merupakan bagian dari upaya menjaga kelestarian sumber daya perikanan.
”Sebagai bagian dari upaya penyelamatan sumber daya perikanan, barang hasil sitaan dari penyelundup atau pelaku pelanggaran dilepasliarkan kembali ke habitat asal. Harapannya, lobster itu memiliki kesempatan bertumbuh dan berkembang biak sehingga populasinya terjaga,” ujar Hendri.
Ia menambahkan, dalam kegiatan penindakan, pihaknya bekerja sama dengan aparat kepolisian serta dinas kelautan dan perikanan di sejumlah daerah, termasuk masyarakat di kawasan daerah penghasil. BKIPM Surabaya I telah berupaya mencegah melalui sosialisasi rutin kepada masyarakat utamanya nelayan.
Terbesar
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diunduh dari laman e-pelanggaran bkipm.id, jumlah kasus pelanggaran karantina dan keamanan hayati ikan di Indonesia selama 2018 mencapai 543 kasus dengan nilai Rp 481 miliar. Jenis kasusnya beragam, yakni lobster, kepiting, ikan hidup atau ikan hias, produk olahan ikan, dan jenis-jenis lainnya.
Jumlah pelanggaran tertinggi terjadi di wilayah BKIPM Makassar sebanyak 170 kasus. Di peringkat kedua adalah Stasiun KIPM Aceh sebanyak 60 kasus. Adapun BKIPM Surabaya 1 berada di urutan ketiga dengan jumlah pelanggaran perikanan sebanyak 42 kasus.
Berdasarkan nilai barang yang berhasil diselamatkan, BKIPM Surabaya 1 menempati urutan terbesar ketiga di Indonesia dengan besaran nilai Rp 64 miliar. Nilai penyelamatan barang hasil penindakan pelanggaran badan perikanan tertinggi dicapai oleh Stasiun KIPM Jambi sebesar Rp 82 miliar dan Stasiun KIPM Pekanbaru sebesar Rp 72 miliar. (NIK)