SURABAYA, KOMPAS – Korupsi telah menjerat sepertiga wilayah pemerintahan di Jawa Timur. Sebanyak 13 bupati dan wali kota dari 38 kepala daerah terbukti korupsi kurun dua tahun terakhir. Penyelenggaraan pemerintahan ternyata koruptif. Pengawasan dan pendampingan Komisi Pemberantasan Korupsi mendesak diwujudkan.
“Kepada bupati dan wali kota baru saya mendesak untuk menghadirkan koordinasi dan supervisi dari KPK dan Kejaksaan Agung untuk pencegahan korupsi,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Senin (10/12/2018), di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Soekarwo mengutarakan itu menjawab pertanyaan pers seusai melantik Ika Puspitasari dan Ahmad Rizal Zakaria sebagai Wali Kota Mojokerto dan Wakil Wali Kota Mojokerto periode 2018-2023.
Ika merupakan pengganti pejabat lama yakni Mas’ud Yunus yang divonis bersalah dalam kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Ika diwarisi pemerintahan yang koruptif dan ditantang untuk tidak mengulangi kebijakan koruptif pemerintahan sebelumnya. Namun, beban Ika bertambah terkait dengan status sebagai adik kandung Bupati Mojokerto nonaktif Mustofa Kamal Pasa yang masih berperkara sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Ika yang akrab dengan panggilan Ning Ita diminta segera berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung dan pengacara negara dalam hal penyusunan perjanjian hukum. Ika amat perlu bergandengan dengan KPK dan Badan Pengawasan Keuangan untuk pengelolaan dan pelaporan administrasi keuangan. “Hampir seluruh kasus korupsi yang menjerat bupati dan wali kota di Jatim berupa pemerasan dan atau suap. Hindarilah dan jangan mengulang pemerintahan sebelumnya,” katanya.
Merespon arahan Soekarwo itu, Ika berjanji untuk tidak terlibat dalam praktik koruptif. Komunikasi dan kesepakatan integritas segera dibuat dengan Kejaksaan Negeri Mojokerto dan DPRD Kota Mojokerto. KPK juga akan dilibatkan pada setiap kebijakan politik yang akan diambil. “Mojokerto harus maju dan bisa maju tanpa korupsi,” ujar perempuan yang diusung oleh koalisi Golkar dan Gerindra itu.
Masih ada beberapa jabatan bupati atau wali kota yang belum diganti karena pemegang amanah masih berperkara dalam kasus korupsi. Yang dimaksud ialah Bupati Malang nonaktif Rendra Kresna, Wali Kota Pasuruan nonaktif Setiyono, Bupati Mojokerto nonaktif Mustofa Kamal Pasa, Bupati Tulungagung nonaktif Syahri Mulyo, dan Wali Kota Blitar nonaktif Samanhudi Anwar.
Para kepala daerah yang telah digantikan oleh pejabat hasil pemilihan umum ialah Moch Anton oleh Wali Kota Malang Sutiaji (sebelumnya Wakil Wali Kota Malang), Eddy Rumpoko oleh istrinya yakni Wali Kota Batu Dewanti, Taufiqurrahman oleh Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Nyono Suharli Wihandoko oleh Bupati Jombang Mundjidah Wahab (sebelumnya Wakil Bupati Jombang), Achmad Syafii Yasin oleh Bupati Pamekasan Baddrut Tamam, Bambang Irianto oleh Wali Kota Madiun Maidi (sebelumnya Sekretaris Kota Madiun), Fuad Amin Imron oleh adiknya yakni Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron, dan Mas’ud Yunus oleh Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari.
Kalangan akademisi menilai, potensi koruptif erat dengan praktik jual beli mahar dalam syarat pencalonan pemimpin daerah. Kebiasaan ini harus menjadi aib, dan bisa langsung digunakan sebagai upaya awal memulai penyelidikan tindak pidana pemilihan umum.
Pakar politik Universitas Airlangga, Joko Susanto berpendapat praktik mendapatkan uang korupsi oleh bupati dan wali kota bermula dari pencarian sumber-sumber uang untuk biaya modal politik ketika “melamar” menjadi calon kepala daerah. Mahar atau biaya pembelian kesempatan menjadi peserta pemilihan bupati/wali kota muncul pada era demokrasi ini.
Pada prinsipnya, tidak ada yang salah dalam dasar hukum mekanisme pemilihan bupati/wali kota. Namun, ada kejahatan yang muncul akibat “modifikasi” dalam mendapatkan kesempatan untuk kontestasi dengan memberi uang kepada partai politik guna mendapatkan dukungan.
Itu memunculkan “aliansi bisnis-politik” atau persekongkolan pelaku politik. Bisa saja pimpinan partai potensial menang berkomplot dengan penyedia bisnis dana politik untuk memenangkan calon tertentu. Nah, pelaku aliansi ini bisa siapa saja tetapi yang memiliki “kekuasaan”; pengusaha, politikus, tokoh masyarakat yang punya kekayaan besar. “Melalui kebutuhan atas biaya partai politik inilah muncul mental politik uang,” kata Joko.