Baru 6 Persen Pabrik Sawit di Kaltim yang Manfaatkan Limbah Cair
Oleh
Lukas Adi Prasetya
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Baru 5 dari 78, atau sekitar 6 persen, pabrik minyak kelapa sawit di Kalimantan Timur memanfaatkan limbah cair sawit untuk sumber energi terbarukan. Tingginya biaya investasi awal dan risiko gagal serta regulasi yang belum mendukung, terutama di tingkat pusat, menjadi kendalanya.
Hal itu menjadi salah satu pembahasan dalam lokakarya ”Potensi dan Prospek Pengembangan Bioenergi Berbasis Limbah Minyak Sawit di Kaltim”, Kamis (15/11/2018). Acara ini diselenggarakan Dinas Perkebunan Kaltim dan Center for International Forestry Research (CIFOR) BMZ Germany. Lokakarya dihadiri perwakilan sejumlah instansi/dinas, lembaga, dan perusahaan sawit.
Henny Herdiyanto, Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Kaltim, mengakui, hanya lima perusahaan (pabrik) sawit yang telah memanfaatkan limbah cair sawit (palm oil mill effluent/POME). Padahal, Kaltim adalah salah satu provinsi produsen sawit terbesar.
Kaltim sedang menjalani proses transformasi ekonomi menuju optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selaras dengan itu, diharapkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan produktivitas, kualitas, dan nilai tambah produk perkebunan tercapai.
Mendapat keuntungan
Takbir, Manajer Biogas di PT Rea Kaltim Plantations Group, salah satu perusahaan yang sudah memanfaatkan limbah cair, mengutarakan, dua pembangkit (plant) yang mereka bangun memiliki kapasitas terpasang 7 MW. Perusahaan itu mulai membangun pembangkit pada 2009 dan mengawali operasionalisasi sejak tahun 2012.
Diakui, ada sedikit rasa cemas karena mendengar kabar bahwa beberapa pabrik yang pernah mendirikan pembangkit serupa terbelit masalah biaya operasional setelah beberapa waktu berjalan. Belum lagi tingginya biaya investasi awal. Namun, semua keraguan ditepis dan kini perusahaan mendapat keuntungan.
Investasi pembangunan satu plant sekitar Rp 50 miliar. Tahun 2015, PT Rea Kaltim sudah bisa menjual listrik 2 MW ke PLN. Daya sebesar itu untuk menerangi 6.671 rumah di tiga kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, yang termasuk daerah cukup terpencil, yakni Tabang, Kembang Janggut, dan Kenohan.
”Dari menjual listrik ke PLN, kami mendapat keuntungan sekitar Rp 900 juta per bulan. Selain itu, kebutuhan listrik internal kami tercukupi. Artinya, kami tidak perlu lagi membeli solar untuk genset, dan ini menghemat Rp 25 miliar per tahun,” tutur Takbir.
Kami mendapat keuntungan sekitar Rp 900 juta per bulan. Selain itu, kebutuhan listrik internal kami tercukupi. Artinya, kami tidak perlu lagi membeli solar untuk genset, dan ini menghemat Rp 25 miliar per tahun.
Meski demikian, lanjut Takbir, masih ada beberapa ganjalan. Salah satunya, regulasi yang mengatur harga maksimal untuk pembelian listrik. ”Dari PLN, listrik kami dihargai Rp 1.050 per kWh. Masih mengacu aturan lama, Peraturan Menteri ESDM Tahun 2014,” katanya.
Aturan baru, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, belum dirasakan. ”Dari harga (sesuai aturan itu), mestinya kami bisa dapat 85 persennya atau Rp 2.100 per kWh,” ujar Takbir.
Kepala Seksi Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim Syamsuddin mengatakan, acuan harga jual listrik sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 hanya mengatur harga maksimal. ”Tidak ada harga minimal. Jadi, kesepakatan harga jual listrik, ya, negosiasi PLN dengan perusahaan,” ucapnya.
Ahmad Dermawan, peneliti di CIFOR, menyebutkan, pemerintah provinsi memegang peran penting untuk menjawab desakan perusahaan dan keinginan pemerintah. ”Hanya lima pabrik sawit di Kaltim yang memanfaatkan POME, ini jumlah yang amat sedikit,” katanya.
Indonesia berencana memenuhi target nasional pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Bioenergi menjanjikan bagi Indonesia yang memiliki sumber daya melimpah sebagai bahan baku.
Ahmad mengatakan, selain soal regulasi yang belum mendukung, percepatan pemanfaatan POME untuk energi baru terbarukan ataupun alternatif biodiesel juga terhambat kelayakan sebagai proyek yang didukung lembaga keuangan.