WONOSOBO, KOMPAS — Pemerintah perlu melakukan pembenahan serius dalam program pendidikan guru. Upaya pembenahan yang perlu dilakukan antara lain penguatan materi tentang nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan.
”Pembenahan berupa penguatan nilai-nilai Pancasila tersebut wajib dilakukan mulai dari kurikulum hingga buku-buku teks yang dipakai,” ujar cendekiawan muslim, Profesor Azyumardi Azra, saat ditemui dalam acara Festival Hak Asasi Manusia di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (13/11/2018).
Pembenahan buku dan teks yang dipakai untuk pendidikan guru wajib dilakukan karena isi buku yang dipakai saat ini cenderung normatif dan tidak kontekstual dengan perkembangan zaman. ”Isi buku dan teks juga wajib diperhatikan karena saat ini materi tersebut juga rawan disusupi paham radikalisme oleh pihak-pihak tertentu,” katanya.
Pendidikan guru menjadi hal yang mendesak untuk dibenahi karena banyak guru memiliki pemahaman yang keliru dan cenderung radikal. Terbukti dari hasil survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 57 persen guru ternyata memiliki paham intoleran.
”Jika guru-guru dibiarkan intoleran, kita wajib waspada karena generasi yang dilahirkan dan dididiknya pasti juga akan memiliki paham yang sama,” ujarnya.
Tidak hanya di dunia pendidikan, upaya untuk mengotak-kotakkan masyarakat juga patut diwaspadai terjadi di kalangan pebisnis, misalnya dalam hal penyediaan perumahan. Ketua Dewan Riset Setara Institute Halili mengatakan, hal ini antara lain ditandai oleh mulai maraknya muncul permukiman untuk warga Muslim, dengan memakai label perumahan syarii atau perumahan berkonsep syariah.
”Saat ditanya, pihak pengembang menyatakan label syarii tersebut semata-mata dipakai untuk mengeruk keuntungan. Padahal, yang terjadi, mereka telah mengapitalisasi politik identitas,” ujarnya.
Konsep permukiman ini, kata Halili, sangat bertentangan dengan konsep keberagaman di Indonesia. Anak-anak yang dilahirkan dan tinggal di sana berpotensi nantinya juga akan menjadi generasi yang intoleran karena tidak terbiasa bergaul dengan mereka yang berbeda agama.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM di Kantor Staf Presiden RI Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan, benih radikalisme saat ini tumbuh dan menginternalisasi dalam berbagai lembaga dan institusi. Tidak hanya di sekolah dan lembaga pendidikan, benih ini bahkan juga telah ada di kantor dan lembaga-lembaga pemerintah.
Jaleswari mengatakan, pihaknya juga berupaya menggandeng berbagai pihak untuk mengatasi kondisi tersebut. Namun, menyangkut isu sensitif semacam itu, Kantor Staf Presiden sering kali harus melakukan upaya senyap, yang tidak boleh dipublikasikan.