BALIKPAPAN, KOMPAS - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih terkendala kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, kelengkapan sarana prasarana, hingga anggaran sehingga perlu komitmen semua pihak. Catatan kepolisian menunjukkan, tahun 2018 ada 8.964 anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan saksi.
Itu garis besar sosialisasi “Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam Perlindungan dan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum” di Hotel Platinum, Balikpapan, Selasa (23/10/2018). Sosialisasi ini diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Acara itu diikuti sekitar 120 aparat penegak kukum, seperti jajaran kepolisian, kejaksaan, hakim, balai pemasyarakatan, dan organisasi advokat. Mereka berasal dari Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalsel, dan Kaltara.
Hasan, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PPPA mengutarakan, sosialisasi ini untuk menyamakan persepsi, pemahaman, dan komitmen pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Khususnya terkait dengan sistem peradilan pidana anak.
Pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk mewujudkan peradilan yang melindungi dan memenuhi hak anak. Juga mewujudkan penghormatan terhadap anak, dan kebebasan dasar lainnya, serta mensyaratkan bahwa semua bentuk kekerasan terhadap anak berhadapan dengan hukum harus dilarang, dan dicegah.
UU ini juga mengatur perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dengan mengupayakan diversi yakni, penyelesaian masalah anak dari prosedur hukum, ke luar prosedur hukum, dengan pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak terkait lainnya untuk bersama mencari penyelesaian masalah anak tanpa balas dendam.
Rumi Untari, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri menyampaikan, tahun 2018, yang berhadapan dengan hukum sebanyak 2.707 anak sebagai korban, 1.735 anak sebagai pelaku, dan 4.522 anak sebagai saksi. Jumlah keseluruhannya 8.964 anak. Adapun anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Selama ini, menurut Rumi, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal pengambilan keputusan maupun diversi oleh kepolisian, telah diupayakan sebaik mungkin. Selalu mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
“Dalam tahap penyidikan, anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlakukan khusus. Misalnya, memisahkan anak dari tahanan dewasa, melakukan penyidikan dalam ruang pemeriksaan khusus anak, perlindungan terhadap identitasnya, memenuhi hak anak untuk memperoleh bantuan hukum, serta pendampingan,” ujar Rumi.
Meski demikian, kendala tetap ada. Mulai dari kualitas dan kuantitas dari sumber daya manusia, kelengkapan sarana prasarana, hingga keterbatasan anggaran. Namun, sesuai dengan amanat UU SPPA itu, seluruh pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, harus mempunyai penyidik khusus anak, penuntut umum khusus anak, dan hakim khusus anak.
“Mereka harus kompeten dan berpengalaman dalam penanganan kasus berbasis anak,” kata Erni Mustikasari, Jaksa Fungsional, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidahana Umum (Ses Jampidum), yang juga pembicara.
SPPA tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, seperti mulai dari anak berkontak pertama dengan polisi, proses peradilan, dan kondisi tahanan anak. Tetapi juga sampai pada pembinaan agar anak dapat diterima oleh orang tuanya, atau lingkungan sosialnya.
Selain itu, lanjut Hasan, juga mengamanatkan agar terbentuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di tingkat provinsi, serta terbentuknya Balai Pemasyarakatan (Bapas) di seluruh kabupaten/kota.
“Masih banyak kasus anak yang tak memakai UU SPPA ini, tapi belum terpantau. Anak kok dianggap dewasa. Di Sumatera Utara, pernah ada kasus anak divonis hukuman mati. Padahal maksimal (menurut UU SPPA) kan 10 tahun,” ujar Hasan.
Selain itu, lanjut Hasan, komitmen pemerintah daerah dan kepolisian sangat diharapkan. Salah satu yang diamati adalah mutasi. Menurut dia, orang-orang yang tepat di posisi yang terkait penanganan anak, sebaiknya jangan diganti, atau jangan terlalu cepat diganti.
Penanganan terhadap anak memerlukan kepedulian, dan juga wawasan khusus. “Kalau yang menangani kasus-kasus anak, orangnya cepat ganti, ya susah. Sebab orang baru, yang belum paham, harus belajar dulu banyak aturan terkait anak,” kata Hasan.