CIREBON, KOMPAS – Kabar penutupan Pabrik Gula Sindanglaut Cirebon, Jawa Barat, kembali mencuat. Hidup petani tebu dan buruhnya pun terancam semakin terpukul.
Kekhawatiran tutupnya satu dari tiga pabrik gula di Jabar itu muncul ketika proses giling tebu di pabrik berakhir pertengahan September lalu. Padahal, bahan baku tebu masih menumpuk.
Tebu pun dibawa ke PG Tersana Baru, Cirebon, untuk digiling. Akibatnya, sebagian besar buruh pabrik pun diliburkan karena pabrik tak lagi menggiling tebu. Tahun lalu, kabar serupa juga menerpa pabrik gula itu.
“Biasanya, giling berlangsung empat sampai lima bulan. Tetapi, saat ini, giling yang dimulai pertengahan Juni telah selesai 15 September lalu. Upah kami pun hanya dibayar setengah,” ujar Dodi Susanto (40), salah seorang buruh PG Sindanglaut saat menggelar aksi di kantor PT PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero) yang membawahkan PG Sindanglaut, Rabu (26/9/2018) di Kota Cirebon, Jabar.
Puluhan buruh dan petani datang dengan membawa spanduk dan keranda jenazah bertuliskan “Hati Nurani RNI Telah Mati”. Keranda itu lalu dibakar bersama ban. Massa sempat bertemu perwakilan PG Rajawali II, tapi belum ada hasil memuaskan kedua belah pihak.
Menurut Dodi, dengan masa giling yang berakhir meskipun masih ada bahan baku, buruh dirugikan. Dengan upah sedikit lebih besar dari upah minimum Kabupaten Cirebon, Rp 1,87 juta per bulan, Dodi yang punya dua anak sekolah hanya mendapatkan sekitar Rp 1 juta. Alasannya, ia hanya bekerja selama setengah bulan.
“Tahun lalu, ketika ada isu penutupan pabrik, kami diliburkan sampai 3,5 bulan. Padahal, biasanya paling lama hanya sebulan,” ujar Dodi yang bekerja di bagian produksi gula selama 11 tahun terakhir.
M Syafii (36), petani tebu di PG Sindanglaut, mengatakan, penutupan pabrik akan merugikan petani. “Kalau pindah pabrik ke PG Tersana Baru, sekitar 15 kilometer dari PG Sindanglaut, biaya angkut semakin mahal. Kalau sekarang saya keluarkan biaya Rp 12.000 per kuintal, saat pindah bisa sampai Rp 30.000 per kuintal,” ujarnya.
Kondisi ini memberatkan petani sebab saat ini gula petani juga belum semuanya laku. “Yang laku cuma sampai lelang periode lima dengan harga Rp 9.700 per kg. Itu pun Perum Bulog yang beli. Sementara periode enam dan tujuh belum ada yang laku,” ujar Syafii yang menggarap 3 hektar lahan.
Kepala Bidang Sumber Daya Manusia dan Umum PT PG Rajawali II Erwin Yuswanto mengatakan masih mengkaji isu penutupan PG Sindanglaut. Tahun lalu, kerugian mencapai miliaran rupiah karena pabrik sudah tidak efisien karena sudah tua. Tahun ini, kerugiannya bisa jadi lebih besar karena gula ditawar lebih rendah Rp 9.000 per kg lebih kecil ketimbang harga pemerintah Rp 9.700 per kg.
Saat ini, di Jabar tersisa tiga pabrik gula yakni PG Sindanglaut dengan kapasitas 1.900 ton giling tebu per hari (Ton Cane per Day/TCD), PG Tersana Baru 2.800 TCD, dan PG Jatitujuh 3.900 TCD. Tahun ini, PG Subang yang berkapasitas 2.700 TCD tutup karena ketiadaan bahan baku. Tiga tahun lalu, PG Karangsuwung di Cirebon dengan kapasitas 1.400 TCD terlebih dahulu tutup.