Tanggung Jawab Baru di Rumah Para Raksasa
Hanya menghitung hari, Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat bakal digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Jadi tuan rumah beragam infrastruktur raksasa, Jabar bakal punya pemimpin baru yang harus bertanggungjawab menyejahterakan 46,7 juta penduduknya.
Bising suara pesawat baru saja melintasi rumah Herry Susana Kalangi (70) di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jabar, Senin (18/6/2018). Desanya hanya terpisah pagar kawat dengan landas pacu Bandara Internasional Jabar Kertajati.
Sejak 8 Juni, setiap pagi, pesawat datang dan pergi tepat di atas Desa Sukamulya. Sejak itu pula, suara pesawat seperti ultimatum bagi ratusan keluarga di sana. Hanya masalah waktu saja, mereka harus meninggalkan desa seperti tetangga lainnya yang sudah pindah entah ke mana.
Tanah Sukamulya menjadi bagian dari 1.100 hektar lahan bandara terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta Banten itu. Luasnya bahkan bakal diperluas menjadi 1.800 hektar. Ini belum termasuk pembangunan kawasan industri bandara (aerocity) seluas sekitar 3.000 hektar.
Akan tetapi, jejak muram itu masih sulit pergi dari Sukamulya. Sejumlah rumah tampak ambruk dan kosong setelah dijual untuk bandara. Pada saat yang sama, deretan rumah “hantu” berdinding tripleks dan lantai tanah berdiri.
Warga setempat menyebutnya rumah “hantu” karena tiba-tiba bangunan itu berdiri dan tanpa penghuni. Ada dugaan rumah tersebut dibangun oknum warga yang ingin harga penjualan tanah dan bangunannya tinggi.
Kemewahan bandara bertaraf internasional tersebut seperti paradoks dengan Desa Sukamulya. Jangankan internet, sinyal telepon untuk operator tertentu saja sulit. Jalanan di desa itu rusak menahun sepanjang berkilo-kilometer. Sebulan terakhir, sebagian jalan diperbaiki. Besi yang menonjol di jalan baru tersebut sempat melukai kaki kiri Herry.
“Kami tidak menolak pembangunan bandara. Tetapi, kami yang sebagian besar petani masih bingung dengan masa depan kami jika harus pindah?” ujar Herry. Padahal, pemerintah pusat dan daerah menjanjikan pertumbuhan ekonomi di Jabar bagian timur dengan kehadiran bandara. Bahkan, semua calon gubernur Jabar juga “menjual” BIJB Kertajati bakal memajukan Jabar.
Lalu, apakah masyarakat Sukamulya turut optimistis? Apalagi, Jabar akan segera memiliki pemimpin baru. Mereka adalah Ridwan Kamil- Uu Ruzhanul Ulum, TB Hasanuddin - Anton Charliyan, Sudrajat – Ahmad Syaikhu serta Deddy Mizwar – Dedi Mulyadi.
“Gelap, belum tahu calon yang bisa mengerti masyarakat. Di sini, warga sudah apatis. Pernah ada yang datang mau pasang spanduk calon gubernur. Saya bilang, tidak usah capek-capek pasang. Enggak ada pengaruhnya,” ujar Herry yang sudah tinggal di Sukamulya selama 50 tahun.
Pandangan itu tidak datang tiba-tiba. Warga Sukamulya pernah dua kali bentrok dengan aparat keamanan saat proses pengukuran lahan bandara. “Pemprov Jabar baru datang ke balai desa pada Januari 2017 setelah bentrok. Itu pun difasilitasi Staf Khusus Presiden. Padahal, pembangunan bandara direncanakan sejak 15 tahun lalu,” ujarnya.
Ia berharap, gubernur Jabar yang baru nantinya dapat mengajak warga Sukamulya berdialog dalam posisi setara. Artinya, masyarakat ikut dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur, tidak hanya menjadi obyek dan penonton.
Di Cirebon, rencana membangkitkan kejayaan Pelabuhan Cirebon dengan revitalisasi juga masih sebatas wacana. Pelabuhan yang dibangun sejak masa kolonial itu kini disinggahi paling banyak 130 kapal per bulan. Namun, sebagian besar mengangkut batu bara. Truk hilir mudik keluar pelabuhan dengan membawa batubara, sembari mencecerkan debunya, memicu polusi bagi lingkungan sekitarnya.
Padahal, berabad silam, pelabuhan disinggahi perahu pedagang luar negeri dari Malaka, India, Persia, hingga Arab dan China. Rencana pemerintah mengembangkan pelabuhan tersebut kini seperti tenggelam dengan pembangunan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang.
“Saat awal 1990-an, ketika pelayaran rakyat masih ada di Cirebon, terdapat 1.000 tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan. Sekarang, paling banyak 200 orang,” ujar Ketua Koperasi TKBM Cirebon periode 1989-2005 Moch Samian (70).
Kini berbagai komoditas yang diangkut di pelabuhan sebagian besar berganti batu bara yang mengandalkan alat berat, bukan tenaga manusia. Samian berharap, gubernur baru nantinya dapat menghidupkan kembali Pelabuhan Cirebon.
Di Kabupaten Indramayu dengan sawah mencapai 110.000 hektar, kekeringan masih saja membelenggu. Saat kekeringan hebat 2015, sedikitnya 21.000 hektar sawah puso di Indramayu. Sementara setiap tahun, sekitar 100 hektar sawah di Kecamatan Krangkeng tidak dikelola karena ketiadaan air.
“Persoalan di Indramayu itu ketersediaan air. Padahal, daerah ini sudah ditetapkan sebagai sentra ketahanan pangan,” ujar Bupati Indramayu Anna Sophanah.
Indramayu setiap tahun berpotensi menghasilkan 1,7 juta ton gabah. Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang yang ditargetkan beroperasi penuh 2019 dapat menjadi solusi karena akan mengairi 90.000 hektar lahan di pantura, termasuk Indramayu.
BIJB, Waduk Jatigede, serta Pelabuhan Patimbang dan Pelabuhan Cirebon, hanya bagian kecil dari infrastruktur yang sudah dibangun di Jabar. Masih ada Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Tol Cikopo-Palimanan, Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi, yang sudah dan tengah dibangun.
Tidak hanya itu, proyek besar pemulihan sungai di Indonesia juga ada di Jabar, lewat Citarum Harum. Sungai terpanjang dan terbesar di Jabar ini, hingga sekarang masih saja jadi sarang pencemaran hingga biang kerok banjir tahunan yang tak kunjung usai.
Tanggal 13 Juni 2018, masa jabatan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan resmi berakhir. Menjabat dua periode, 2008-2013 dan 2013-2018, beragam prestasi didapatkan Heryawan untuk Jabar. Dalam, sambutannya saat acara Pelantikan Penjabat Gubernur Jabar Komisaris Jendral Polisi Mochammad Iriawan lalu, ia memaparkan beberapa keberhasilannya. Mulai dari pembangunan ruang kelas, revitalisasi posyandu, hingga ikut terlibat dalam pembangunan infrastruktur.
Akan tetapi, selain ikut mengapresiasi kinerja Pemprov Jabar selama 10 tahun terakhir, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tetap mengingatkan satu hal penting yang belum harus terus diperbaiki, yaitu pemulihan Sungai Citarum yang tercemar berat.
Citarum sebagai sungai terbesar dan terpanjang di Jabar dengan panjang 297 kilometer ini mengalami pencemaran berat, bukan saja oleh limbah industri, melainkan juga dari limbah domestik atau rumah tangga, juga kotoran hewan.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Jabar, jumlah industri tekstil di kawasan DAS Citarum berkisar 3.236 dan sekitar 90 persen belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memenuhi standar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan mengatakan, limbah yang dibuang mengandung polutan atau racun berupa logam berat, di antaranya Kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan arsenik.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat air baku dari DAS Citarum digunakan sekitar 17,5 juta orang yang tinggal di sepanjang DAS, serta sekitar 10 juta warga DKI Jakarta. Selain itu, Sungai Citarum dimanfaatkan untuk irigasi dengan mengairi sekitar 240.000 hektar lahan pertanian.
Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penanggulangan Pencemaran Sungai Citarum dalam Program Citarum Harum yang dimulai tahun ini (2018). Satgas ini berada di bawah komando pemerintah pusat dibantu Gubernur Jabar, Pangdam III Siliwangi, dan Kepala Kepolisian Daerah Jabar. Program tersebut dirancang untuk memulihkan Citarum dari hulu ke hilir dengan dibagi dalam 22 sektor.
Berdasarkan hasil pemantauan tim patroli Satgas Penanggulangan Pencemaran Sungai Citarum dari Kodam III Siliwangi, sebanyak 1.900 industri di DAS Citarum menghasilkan sekitar 340.000 ton per hari limbah cair. Hal itu masih terus dibenahi. Sejauh ini, upaya pemulihan masih terkosentrasi pada pembersihan sampah permukaan Citarum.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Yerry Yanuar menuturkan, untuk Program Citarum Harum, Pemprov Jabar telah menggulirkan dana lebih kurang Rp 40 miliar. Dana itu hanya seperempat dari alokasi pemerintah pusat. Sayangnya, dana mencapai Rp 165 miliar itu tak kunjung cair.
Tidak hanya limbah, kerusakan Sungai Citarum dipicu penebangan pohon dan alih fungsi hutan lindung menjadi kebun sayur-sayuran. Semuanya memicu erosi dan sedimentasi membebani Citarum. Akibatnya, banjir tahunan di Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, masih saja terjadi tanpa bisa dicegah.
Mulai tahun lalu, pembangunan infrastruktur banjir mulai dilakukan. Pemerintah mulai membuat kolam retensi seluas 7,8 hektar di Baleendah untuk menampung sementara luapan Sungai Citarum. Harapannya, hal itu bakal mengurangi debit banjir genangan dan durasinya tiga wilayah tersebut ketika musim hujan. Akan tetapi sampai saat ini pembangunan kolam retensi senilai lebih kurang Rp 280 miliar itu belum juga selesai.
“Kami sangat berharap pembangunan kolam retensi ini cepat tuntas, supaya segera beroperasi, sehingga dapat mengurangi banjir genangan di sini secara signifikan,” kata Dedi Damiri (66), warga Kampung Cigado, Baleendah. Ketika musim hujan, rumah Dedi kerap dilanda banjir genangan dengan ketinggian sekitar satu meter.
Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Suwarno menjelaskan, proyek pembangunan kolam retensi di Baleendah itu dijadwalkan selesai tahun 2019.
“Namun kami menargetkan bisa selesai tahun ini, semoga cuaca juga mendukung,” kata Suwarno.
Suwarno menuturkan, berbagai program terus diupayakan untuk menanggulangi banjir genangan di kawasan Bandung selatan itu, di antaranya dengan peningkatan kapasitas Citarum dengan debit 25 tahunan. Kedalaman dan lebar Sungai Citarum akan ditambah.
Peningkatan kapasitas anak Sungai Citarum pun sedang diupayakan, di antaranya Sungai Cimande, Cikijing, dan Sungai Cikeruh. Namun pelaksanaan peningkatan kapasitas sungai ini masih terkendala oleh pembebasan lahan. Diharapkan peran aktif pemerintah daerah untuk pembebasan lahan tersebut.
“Karena respons pemda yang lambat, seperti menangani pembebasan lahan kolam retensi di Baleendah, kami harus turun langsung ke lapangan agar prosesnya berjalan lebih cepat,” ucapnya.
Suwarno juga meminta perhatian pemda, khususnya Pemerintah Kabupaten Bandung setelah kolam retensi di Baleendah selesai supaya dibangun drainase tingkat kabupaten di lingkungan permukiman yang terkoneksi ke kolam retensi.
“Hal ini akan membantu pengurangan banjir genangan, maupun durasi banjir,” ujar Suwarno.
Jadi penyangga ibukota, jelas tugas pasangan yang terpilih tidak mudah. Masa depannya berpotensi jadi cermin tata kelola daerah lain di Indonesia.