SURABAYA, KOMPAS – Paradigma hukum pemerintah dari masa ke masa sejak proklamasi kemerdekaan hingga fase reformasi berubah-ubah, sesuai dengan tantangan dan kebutuhannya masing-masing.
Setiap masa menyimpan kegagalan hukumnya yang berkaitan dengan hukum perlindungan hak asasi manusia. Termasuk fase politik reformasi sekalipun, paradigma hukum pemerintahan mengalami kegagalan hukumya juga.
Hal itu dikatakan pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Kristoforus L Kleden di Surabaya, Selasa (23/5). Pada acara “dialog kebangsaan” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Untag tersebut,
Kleden mengungkap, perjalanan pembelaan isu HAM sepanjang perjalanan sejarah pemerintahan Indonesia berlangsung dalam proses yang tidak mudah sesuai dengan konteks sejarahnya.
“Harus diakui, bahwa praktek hukum selama pemerintahan Orde Lama tidak menerapkan cukup penghargaan pada isu HAM. Namun itu terjadi karena demikian banyaknya aksi-aksi dan upaya-upaya pemberontakan dari berbagai kepentingan, dalam bentuk pemberontakan fisik dan bersenjata.
Pada masa Orde Lama itu pula sejarah munculnya puluhan partai politik yang bisa hidup bersama mengelola isu nasional sebagai wujud penghargaan pada hak politik warga,” katanya.
Pada masa Orde Baru, praktek hukum juga merapkan penghargaan yang rendah pada isu HAM. Diantara yang menonjol adalah aksi-aksi pembunuhan misterius, yang dikenal dalam sejarah dengan istilah "petrus", terhadap orang yang dicap sebagai kriminal tanpa pengadilan. Demikian juga kenyataan ratusan ribu orang yang diasingkan di Pulau Buru, Maluku, karena dicap tanpa pengadilan sebagai anggota Partai Komunis,” katanya.
Pengelolaan isu HAM di masa reformasi membaik setelah kemunculan lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, pelaksanaan Pemilu langsung, pemilihan presiden, gubernur, wali kota secara langsung.
Namun pada saat yang bersamaan produk perundangan juga senantiasa harus digiring dulu ke Mahkamah Konstitusi sebelum kemudian dilaksanakan. Ini menggambatkan penegakan hukum juga mendapat tekanan dan perlawanan dari masyarakat sendiri.
“Termasuk KPK yang sebenarnya dibuat dan disusun organisasinya oleh DPR. Namun tahun lalu ada upaya-upaya dari DPR sendiri yang berusaha membubarkan KPK. Inilah yang dikatakan masa reformasi sebenarnya juga menyimpan masalah-masalah hukumnya juga,” katanya.
Fahrul Muzaqi, pengajar pada Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga mengatakan, problem generasi muda saat ini adalah kian tergerusnya, atau kian menipisnya semangat nasionalisme.
Muncul gejala untuk justru mengagumi bangsa lain, dan berkeras terhadap terhadap teladan dari bangsa lain, sementara sebenarnya kekayaan kebijakan lokal (local wisdom) tidak kalah luar biasa.
Generasi muda pada masa sekarang perlu diajak kembali menghargai proses berkebangsaan dengan melihat sejarah praktek hukum, sehingga bisa melihat adanya kemajuan dan kwalitas hidup bangsa Indonesia dari masa ke masa.
“Generasi muda saat ini tidak menghayati karena tidak merasakan pengalaman reformasi, dan berkemungkinan tidak menghargai perjalanan sejarah kebangsaan,” katanya.