Debat, Pasangan Calon Hanya Membahas Permukaan Masalah
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Debat publik antara dua pasangan calon gubernur Sumatera Utara belum mengupas permasalahan daerah secara mendalam. Pasangan calon belum memberikan pandangan menukik tentang pembangunan daerah tertinggal di Kepulauan Nias, peningkatan partisipasi pendidikan, kedaulatan pangan, dan penyediaan lapangan kerja.
Pandangan itu disampaikan oleh tim penyusun pertanyaan yang berasal dari sejumlah kampus di Sumatera Utara seusai debat publik putaran kedua, di Hotel Adi Mulia, Medan, Sabtu (12/5/2018) malam. Kedua pasangan calon juga dinilai belum mampu mengomunikasikan ide dengan baik kepada masyarakat pemilih. Debat bertema ”Pembangunan Berkeadilan dan Berkesetaraan” itu berlangsung selama dua jam.
Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Hendra Harahap, salah satu anggota tim penyusun pertanyaan, mengatakan, kedua pasangan calon gubernur Sumut, yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus tampak hanya membahas permukaan permasalahan. ”Kelengkapan informasi yang disampaikan pasangan calon masih sangat kurang. Mereka juga tampak belum mampu mengomunikasikan idenya dengan masyarakat bawah,” kata Hendra.
Salah satu isu politik yang menarik terkait dengan keadilan dan kesetaraan pembangunan, kata Hendra, adalah bagaimana pandangan pasangan calon soal pembangunan daerah tertinggal di Kepulauan Nias. Dari empat daerah tertinggal di Sumut, semuanya ada di Kepulauan Nias, yakni Kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Barat, dan Nias Utara. Hanya Gunung Sitoli yang bukan daerah tertinggal di kepulauan itu.
Namun, Hendra menyayangkan kedua pasangan calon hanya berkutat pada soal perlu atau tidak Kepulauan Nias dimekarkan menjadi provinsi baru. Isu pemekaran diutamakan karena menjadi variabel penting bagi masyarakat Nias dalam menentukan pilihannya. ”Padahal, Kepulauan Nias punya segudang masalah. Mulai dari krisis listrik, infrastruktur jalan yang rusak, dan partisipasi pendidikan yang rendah. Layanan kesehatan di Nias juga masih sangat minim. Dimekarkan atau tidak, Kepulauan Nias harus dibangun,” kata Hendra.
Hendra juga menyayangkan isu pembangunan perkebunan sawit dan karet yang merupakan komoditas utama di Sumut tidak mengemuka secara spesifik dalam debat itu. Selama ini, ujar Hendra, permasalahan daerah Sumut antara lain soal bagi hasil perkebunan antara provinsi dan pusat.
Menurut Hendra, minimnya waktu yang tersedia juga turut membuat pasangan calon belum mampu mengelaborasi persoalan dan memberikan jawaban yang mendalam dan lugas. Dalam debat itu, satu isu dibahas saling bergantian antar-pasangan calon dengan total waktu 4,5 menit untuk satu sesi.
Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, Posman Sibuea, menilai, kedua pasangan calon belum memberikan solusi yang lugas terhadap masalah yang dihadapi Sumut. Menurut Posman, untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan setara, harus ada pemerataan pembangunan antar-beberapa wilayah di Sumut, yakni pantai timur, pantai barat, pegunungan Toba, dan Kepulauan Nias.
Saat menyampaikan pandangan tentang pembangunan berkeadilan dan berkesetaraan, Edy menyatakan akan mengatasi permasalahan penduduk miskin di Sumut yang jumlahnya 1,4 juta jiwa atau 9,28 persen pada 2017. Edy juga menyatakan akan mengatasi pengangguran di Sumut yang mencapai 5,6 persen. ”Kami melihat pembangunan berkeadilan dan berkesetaraan adalah suatu proses menyeluruh, utuh, dan melibatkan aspek ekonomi dan non-ekonomi,” kata Edy.
Sementara itu, di awal sesi debat, Djarot menunjukkan contoh Kartu Sumut Pintar, Kartu Sumut Sehat, dan Kartu Sumut Keluarga Sejahtera yang ia katakan akan diberikan kepada warga jika dirinya terpilih. Djarot juga berjanji akan memperbaiki 500 kilometer jalan dan membangun pusat olahraga untuk generasi milenial. ”Saudaraku, jangan sampai tidak sekolah, biaya akan kami tanggung. Kami hadir untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan,” kata Djarot.