Anak Semestinya Bebas Dapatkan Proses Belajar secara Alamiah
Oleh
Lukas Adi Prasetya
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Sekolah-sekolah terlalu terpaku pada kurikulum, nilai pelajaran, dan lupa memperhatikan bahwa minat dan bakat setiap anak berbeda yang berarti butuh penanganan berbeda pula. Anak semestinya bebas memilih minat dan mendapatkan proses belajarnya secara alamiah.
Pernyataan itu merupakan rangkuman diskusi parenting Ada Apa dengan Sekolah? di Hotel Royal Suite, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (28/4/2018). Acara itu digelar Yayasan Sekar Pelita Bangsa, Balikpapan, dan Sanggar Anak Alam, Bantul, Yogyakarta.
Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) di Bantul–yang menjadi pembicara–mengutarakan, sekolah semestinya membantu anak menemukan apa yang dicarinya sebagai bekal hidupnya kelak. ”Peran utama tetap pada orangtua, tentu saja,” ujarnya.
Setiap anak, menurut Wahya, adalah pribadi yang unik dengan sifat dan karakter berbeda. Jangan semua anak disamakan dan diarahkan untuk menyukai hal yang sama. Ini tentu tidak mudah karena terbentur dengan kurikulum sekolah dan faktor lain.
”Kita lihat, banyak anak dimasukkan ke sekolah tertentu, seperti sekolah favorit, hanya demi gengsi orangtua. Mesti dapat nilai bagus dan anak nanti punya ijazah. Banyak orangtua yang takut anaknya diomongin oleh para tetangga,” katanya.
Sementara, sebagian anak tidak bisa menikmati apa yang dijalani. Di sisi lain, sebagian orangtua sebenarnya sadar bahwa masa depan pekerjaan–anaknya nanti–pun tidak hanya sebatas menjadi karyawan.
Wahya tidak menyalahkan para orangtua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Dia hanya masih melihat banyak orangtua seakan menyerahkan semua pendidikan ke sekolah, sementara orangtua sibuk bekerja.
Salah satu peserta acara mengutarakan kegelisahannya bahwa sekolah sudah dimasuki banyak pihak yang membuat resah karena sudah menyinggung masalah agama, menolak perbedaan keyakinan, dan menolak keberagaman.
Menjawab itu, Wahya mengatakan, di sekolahnya, Sanggar Anak Alam, tidak ada pelajaran agama. ”Kalau agama, itu hak sangat pribadi dan mestinya keluarga yang berperan,” kata Wahya.
Di Sanggar Anak Alam diajarkan bagaimana anak berteman dengan siapa saja tanpa memandang SARA, mengenal alam dan lingkungan, serta menikmati proses belajar menyenangkan. Anak menjadi guru untuk dirinya sendiri dan sumber ilmu bagi temannya.
Dengan proses pembelajaran berbasis riset, Salam tidak mengikuti standar guru yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya. Menariknya, Salam juga merupakan sekolah inklusi, yang berarti bisa menerima anak berkebutuhan khusus.
Di tingkat PAUD dan TK, Salam mengeksplorasi dan menstimulus pancaindera. Di tingkat SD, mulai masuk dalam merancang tahapan riset, memunculkan gagasan, dan musyawarah. Untuk anak kelas 4 hingga SMA, sudah melakukan riset sendiri. ”Apa ketertarikan mereka, diperdalam,” ujar Wahya.
Karunianingtyas Rejeki, salah satu fasilitator di Salam, menyebut setiap anak pasti memiliki bakat dan talenta.
Dia mencontohkan, ada siswa di Salam yang termasuk anak berkebutuhan khusus dan ternyata talentanya adalah menyulam. Ada pula anak penyandang down syndrome yang ternyata menyukai bermain drum dan melukis.
Wahya menambahkan, sekolah jangan seperti pabrik yang hanya mencetak lulusan yang ”seragam”. Saat ini, Indonesia selalu dianggap tertinggal dalam hal pendidikan dan terus dikaitkan dengan globalisasi serta daya saing.
”Kita (Indonesia) tertinggal dari siapa? Pendidikan di Indonesia harusnya, kan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerminkan cita-cita bangsa. Itu, kan, maksudnya bangsa kita sendiri, seharusnya. Bukan bangsa lain,” kata Wahya.
Santi, Ketua Yayasan Sekar Pelita Bangsa, mengatakan, apa yang diterapkan Salam adalah hal yang sangat menarik. Juga menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya sekolah untuk anak. ”Kita butuh sekolah yang seperti itu di Balikpapan,” katanya.
Acara diskusi ini diikuti puluhan orangtua. Saat diskusi, anak-anak mereka mengikuti kegiatan melukis tas kanvas dan aneka permainan.