SIDOARJO, KOMPAS - Bupati Nganjuk Taufiqurrahman (54) didakwa korupsi dengan menerima suap dan gratifikasi jual beli jabatan senilai lebih dari Rp 1,3 miliar di lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya. Kepala daerah yang menjabat selama dua periode ini terancam pidana penjara selama 20 tahun.
Dakwaan itu disampaikan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jumat (9/3). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai I Wayan Sosiawan.
“Perbuatan terdakwa bertentangan dengan Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP,” ujar jaksa KPK Fitroh Rohcahyanto.
Selain dakwaan primer, Taufiq juga didakwa melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Fitroh mengatakan Taufiq ditangkap KPK dalam kegiatan operasi tangkap tangan di Jakarta, Oktober 2017. Dia diamankan di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng dengan barang bukti uang tunai Rp 298 juta.
Selain Taufiq, KPK juga menangkap Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nganjuk Ibnu Hajar, Kepala SMPN 3 Ngronggot Suwandi, Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Mokhamad Bisri, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk Harjanto.
Selama menjabat sebagai kepala daerah periode 2013-2018, Taufiq menerima uang dari Ibnu Hajar, Suwandi, Joni Tri Wahyudi, Nurrosyid Hussein dan Budiono.
Uang yang diberikan itu merupakan kompensasi atas promosi dan mutasi beberapa pegawai seperti Harjanto, Mokhamad Bisri, Teguh Sujatmiko, dan Tien Farida Yani.
Sebelum menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Harjanto merupakan staf ahli. Setelah dilantik, Harjanto dipanggil terdakwa dan diminta “uang syukuran” Rp 500 juta sebagai kompensasi atas promosi jabatannya.
Harjanto menyerahkan Rp 80 juta melalui Ibnu Hajar, Rp 50 juta melalui Suwandi, dan Rp 100 juta melalui Anang Prabowo.
Tidak hanya itu, terdakwa suami Sekda Jombang ini menerima “uang syukuran” dari Mokhamad Bisri dan beberapa pegawai lain yang mendapat promosi jabatan dengan nilai total Rp 400 juta.
Permintaan uang syukuran tidak hanya dilakukan untuk jabatan kepala dinas melainkan semua jabatan termasuk kepala seksi dan kepala bagian dengan nilai variatif.
Menanggapi dakwaan jaksa KPK, Taufiq mengatakan pihaknya menghormati proses hukum dan akan mengikutinya. Dia tidak mengajukan eksepsi pada sidang berikutnya karena ingin fokus pada materi pokok perkara.
Kuasa hukum terdakwa Susilo Ari Bowo dihadapan majelis hakim mempertanyakan dakwaan jaksa yang tidak memasukkan tindak pidana pencucian uang. Dakwaan itu hanya menyebut korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh terdakwa.
“Sebelumnya, KPK sudah mengeluarkan sprindik (surat perintah penyidikan) terhadap kliennya terkait dugaan kasus tindak pidana pencucian uang. Namun, hingga kini, klien kami belum pernah diperiksa dan kasus itu tidak masuk dalam dakwaan yang dibacakan hari ini,” kata Susilo.
Susilo berharap perkara pidana pencucian uang bisa segera diselesaikan oleh penyidik KPK dan disidangkan bersamaan dengan perkara korupsi maupun gratifikasi.
Dia khawatir apabila perkaranya dipisah, kliennya akan disidangkan lagi. Selain itu, kliennya akan mendapatkan hukuman akumulatif dari majelis hakim. “Hal itu tentu memberatkan dan tidak adil bagi terdakwa,” ucap Susilo.
Menanggapi permintaan kuasa hukum terdakwa agar perkara tindak pidana pencucian uang disidangkan bersamaan dengan perkara korupsi dan gratifikasi, Fitroh mengatakan pihaknya akan menyampaikan kepada KPK secara kelembagaan.
Namun, apabila berkas perkara tindak pencucian uang telah selesai penyidikannya, akan segera dilimpahkan ke pengadilan.