OPERASI tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Sabtu (16/9) siang, mengejutkan warga Batu. Namun, bagi aktivis antikorupsi, operasi tangkap tangan yang berlanjut dengan penangkapan itu bukan hal yang aneh. Malang Corruption Watch, misalnya, menyoroti setidaknya ada 10 dugaan kasus korupsi yang terjadi di Batu selama 2009-2016.
Seperti apakah kota di ketinggian rata-rata 700-1.800 meter di atas permukaan laut yang dikenal sebagai Swiss Kecil (de Klein Switzerland) itu?
Dulu, Batu merupakan sebuah kecamatan sebagai bagian dari Kabupaten Malang. Tahun 1993, Batu ditetapkan sebagai kota administratif sebelum akhirnya pada 17 Oktober 2001 ditetapkan sebagai kota otonom.
Dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 214.000 jiwa, sebagian besar wilayah Batu merupakan kombinasi antara lahan pertanian, jasa perdagangan dan hotel, serta obyek wisata kontemporer.
Sejak zaman kolonial, Batu sebenarnya telah menarik orang Belanda untuk datang dan beristirahat. Begitu pula tahun 1980-an, Batu telah memikat banyak orang dari luar daerah untuk datang. Mereka tidak saja berwisata, tetapi juga tertarik pada produk yang dihasilkan berupa buah dan sayuran.
Begitu bagusnya produk Batu, menyebabkan sebagian orang yang datang ke Batu merupakan tengkulak yang menguasai hasil bumi dari petani setempat. Hal ini terjadi karena saat itu akses petani untuk menjual produk ke luar daerah masih sangat minim. Proteksi dari pemerintah juga hampir tidak ada.
Menurut pengajar pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang, Luthfi J Kurniawan, saat masih jadi bagian dari Kabupaten Malang, perkembangan Batu lambat sesuai karakteristik masyarakatnya yang agraris.
Dari situlah kemudian investor-investor besar masuk. Mereka mengelola pertanian menjadi komoditas pariwisata. Masuknya investor paling terasa ketika Eddy Rumpoko baru dua tahun menjabat wali kota. Hingga akhirnya, Batu menjadi besar seperti sekarang dengan jumlah wisatawan mencapai 4 juta orang per tahun.
Untuk memperlihatkan maraknya industri wisata, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Batu, tahun 2014 terdapat sekitar 500 hotel berbintang, nonbintang, dan losmen di Batu. Padahal, pada tahun 2000 baru terdapat 52 hotel.
Hal yang menarik, ternyata perkembangan dunia pariwisata ini tidak diimbangi dengan jumlah pemasukan daerah. ”PAD (pendapatan asli daerah) Batu dari pariwisata tidak sampai 20 persen dari APBD yang jumlahnya Rp 800-an miliar,” kata Luthfi.
Jumlah PAD 2016 dari sektor pariwisata bahkan hanya 14 persen. Kenapa bisa demikian? Luthfi menyebutkan, hal itu karena banyak perusahaan dan jasa di Batu yang ngemplang pajak. Bahkan, Eddy pernah mengusulkan pemutihan pajak pada tahun 2016 meski tidak disetujui DPRD. Akhirnya, setelah ”negosiasi”, ada diskon bagi mereka.
”Padahal, kalau dihitung, investor yang masuk ke Batu tidak semuanya membawa modal. Karena perilaku para investor kerja sama (didukung) Pemkot Batu menggunakan tanah milik desa. Model kerja sama dengan asumsi bagi keuntungan. Tapi, masyarakat sendiri kalah dengan investor,” tuturnya.
Dari sisi lingkungan, pembangunan industri pariwisata di Batu juga menjadi sorotan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Walhi Jatim menilai, jumlah mata air di sekitar Gunung Arjuno yang masuk wilayah Batu berkurang dalam 10 tahun terakhir. Saat ini, diperkirakan tinggal 51 titik tangkapan air dari sebelumnya 111 titik.
Kasus perebutan sumber air Gemulo di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, antara warga dan pengusaha (pendirian Hotel The Rayja), misalnya, mengemuka sejak 2012. Kasus ini bergulir ke pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga kasasi di Mahkamah Agung. Jika pengadilan negeri dan tinggi memenangkan warga, tidak demikian di tingkat kasasi. Warga pun dikalahkan.