Pegiat HAM Desak Transparansi Investigasi Penembakan di Papua
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta melakukan investigasi yang bersifat transparan terhadap insiden penembakan warga oleh aparat kepolisian di Kabupaten Deiyai, Papua. Desakan itu bertujuan agar kasus serupa tidak terjadi berulang kali.
Dalam konferensi pers gabungan masyarakat sipil yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta penegakan hukum dilakukan secara adil oleh pihak yang berwenang.
”Investigasi harus dilakukan oleh pihak yang berwenang dan hasilnya harus dipublikasikan,” ujar Kepala Divisi Pembela HAM Kontras Arif Nur Fiqri, Selasa (8/8).
Sebelumnya, pada 1 Agustus 2017, terjadi bentrok antara polisi dan warga di Kampung Boumau, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai. Dalam insiden itu, 8 warga mengalami luka tembakan dan 1 warga meninggal atas nama Yulianus Pigai (28). Saat ini, pihak kepolisian bersama Komnas HAM perwakilan Papua telah membentuk tim pencari fakta agar dapat menyelidiki insiden bentrokan tersebut (Kompas, 4/8).
Gabungan masyarakat sipil dalam konferensi persnya mengatakan, kerusuhan itu diawali oleh kematian seorang pemuda Papua dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebelum dibawa ke rumah sakit, teman-teman korban berusaha meminjam mobil milik karyawan PT Putra Dewa Paniai, tetapi tidak diperbolehkan. Karena menilai nyawa seorang pemuda itu bisa diselamatkan jika lebih cepat mendapatkan penanganan di rumah sakit, warga merasa jengkel dan menyerang permukiman karyawan. Pihak PT Putra kemudian meminta perlindungan kepada pihak kepolisian. Namun, sesampainya pihak kepolisian di tempat, mereka dilempari batu oleh warga. Dari situ terjadilah bentrok.
Pegiat HAM menilai, penggunaan senjata api dalam kejadian itu merupakan hal yang berlebihan. ”Kami selalu minta pihak Kompolnas dan Ombudsman menguji penggunaan senjata api oleh pihak kepolisian, jangan sampai penggunaan senjata api ini dilakukan sewenang-wenang oleh polisi,” ujar Nicco Attar, peneliti Imparsial.
”Saya pikir, ini kejadian yang berulang. Jadi diperlukan evaluasi terhadap sistem keamanan di Papua. Investigasi jaringan kami selama ini berkesimpulan, polisi tidak mampu menghadapi suasana konflik di mana terjadi kumpulan orang. Akhirnya, pendekatan melalui kekerasan pun dilakukan,” ujar Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.
Investigasi yang dilakukan pihak berwenang diharapkan dilakukan secara serius. ”Sering kali ketika terjadi kasus seperti ini, investigasi memang dilakukan, mendatangkan orang dari Jakarta ke Papua. Namun, setelah mereka kembali ke Jakarta, kelanjutan dan hasil investigasinya tidak diketahui sampai sekarang,” tutur Tommy Albert, pengacara di LBH Jakarta.
Kontras mencatat, kekerasan menggunakan pendekatan keamanan yang terjadi di Papua tercatat mencapai 16 peristiwa sejak Agustus 2016-Agustus 2017. ”Sebanyak 16 kekerasan tersebut mengakibatkan setidaknya 44 korban terluka dan 3 orang tewas,” tutur Arif. (DD14)