Jaksa Agung Tegaskan Pecat Farizal dengan Tidak Hormat
Oleh
Ismail Zakaria
·2 menit baca
PADANG, KOMPAS — Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan akan memberhentikan secara tidak hormat Farizal, jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, yang divonis lima tahun penjara karena terbukti menerima suap. Keputusan itu diambil sebagai bentuk komitmen kejaksaan dalam mendukung pemberantasan korupsi.
”Dia (Farizal) dipecat dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil. Artinya, dia tidak dapat apa-apa. Hanya penjara. Harapannya, itu bisa menjadi pelajaran bagi jaksa yang lain agar tidak melakukan hal yang sama,” kata HM Prasetyo, Senin (8/5/2017) di Padang.
Menurut HM Prasetyo, dalam upaya mencegah korupsi, selama ini, mereka terus memberikan pengarahan dan petunjuk kepada para jaksa untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dengan dilandasi kejujuran, kesungguhan, dan obyektivitas. Selain itu, para jaksa diminta menegakkan hukum secara terukur, obyektif, profesional, dan proporsional.
Sebelumnya, pada Jumat (5/5/2017) pagi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang, Sumatera Barat, menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada Farizal karena terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dari Xaveriandy Sutanto. Suap tersebut untuk membantu pengurusan perkara gula pasir tanpa label Standar Nasional Indonesia yang menjerat Xaveriandy.
”Menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan denda sekitar Rp 250 juta dengan subsider empat bulan penjara. Terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 355 juta,” kata hakim ketua Yose Ana Rosalinda, didampingi hakim anggota Elisya Florence dan Muhammad Takdir.
Yose mengatakan, Farizal terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar dakwaan primer, yakni Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusannya, majelis hakim menilai Farizal tidak ikut menjalankan program pemerintah, yakni pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai penegak hukum, Farizal bahkan telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Seperti diberitakan, kasus ini terungkap pada 9 September 2016. Saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Farizal karena diduga menerima suap dari Xaveriandy. Suap tersebut diduga untuk membantu pengurusan perkara yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Padang. Kasus yang melibatkan Xaveriandy terkait peredaran gula pasir tanpa label Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam kasus ini, Xaveriandy sudah divonis penjara 4,5 tahun.
Penangkapan Farizal bersamaan dengan penangkapan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. Irman ditangkap karena diduga menerima suap dari Xaveriandy sebesar Rp 100 juta untuk membantu pengurusan gula impor yang diberikan Bulog (Kompas, 17/9/2016).
Menanggapi putusan tersebut, Farizal dan kuasa hukumnya Irawan menyatakan menerima putusan tersebut. ”Kami tidak akan banding. Pak Farizal menyatakan siap menerima putusan tersebut,” kata Irawan.