Ni Made Tasyarani (21) memulai gerakan inovatif yang dinamakannya The Greenbelt Project.
Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
·4 menit baca
Tanah Air, tak terkecuali daerah Jawa Barat, menjadi saksi dari kekeringan yang meningkat dan sungai yang tercemar. Sadar masalah ini harus diperangi, Ni Made Tasyarani (21) memulai gerakan inovatif yang dinamakannya The Greenbelt Project.
Melalui The Greenbelt Project, Aca, demikian panggilannya, menginisiasi aksi penanaman bambu di kawasan Sungai Cikapundung, sungai terpanjang di Kota Bandung, Jawa Barat. Ide cemerlang itu ia miliki sejak bergabung dalam pelatihan Freshwater & Community Conservation Externship yang diadakan National Geographic dan The Nature Conservancy pada 2023 lalu.
Aca tak ingin menyia-nyiakan ilmu yang didapatnya di sana. Usai menyelesaikan pelatihan selama dua bulan, ia pun mengajukan rancangan program konservasi air bersih. Proposalnya diterima oleh kedua penyelenggara.
”Sejak itu, aku mendirikan The Greenbelt Project dan mengajak teman-teman untuk ikut jadi volunteer,” tutur fresh graduate Jurnalistik Universitas Padjadjaran itu, Selasa (26/3/2024).
Instagram dipilih sebagai platform tempat The Greenbelt Project mengedukasi tentang lingkungan, serta mengajak calon sukarelawan untuk bergabung. Branding dan konten-konten menarik di akun Instagram @greenbelt.project pun berhasil menarik minat ratusan anak muda untuk jadi pengikut.
Bahkan, tak disangka, Aca dan kawan-kawan menerima puluhan pendaftar sukarelawan untuk ikut aksi menanam bambu. Mereka berhasil menjangkau banyak anak muda dari berbagai institusi di Jawa Barat, seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Komputer Indonesia.
”Cara rekrutmennya itu aku contoh dari proyek-proyek lain. Kalau mau registrasi, itu harus mengajak orang. Dari sana, ternyata berhasil menggaet lebih banyak orang,” ungkap Aca.
Konservasi air bersih
Bambu yang menjadi tumbuhan dalam proyek The Greenbelt Project ini bukan tanpa alasan. Bambu merupakan tumbuhan yang bisa menjadi alat konservasi air bersih. Hal ini berkat akar serabutnya yang mampu menjaga ekosistem air. Selain itu, bambu juga dianggap mampu berperan menjaga lingkungan sekitar bantaran sungai dari longsor, kekeringan, hingga menyaring bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalam tanah.
Program ini telah dipikirkan matang-matang untuk memberdayakan para sukarelawan. Sebelum terjun langsung dalam penanaman bambu, Aca dan teman-teman sukarelawan mengadakan pelatihan (workshop) terlebih dahulu selama dua hari.
Pelatihan pertama pada September 2023 berisi edukasi seputar isu air bersih dan cara-cara menanggulangi masalah tersebut. Lalu, pelatihan hari kedua berisi pengetahuan tentang seluk-beluk manfaat pohon bambu. Informasi ini mulai dari manfaat konservasi hingga manfaat ekonominya bagi warga sekitar.
”Kita ingin, melalui workshop, para volunteer itu paham apa sih korelasinya antara menanam bambu dan konservasi air, dan bagaimana caranya,” lanjut Aca.
Kita ingin, melalui workshop, para volunteer itu paham apa sih korelasinya antara menanam bambu dan konservasi air.
Sebanyak 30 sukarelawan terlibat dalam acara penanaman pohon di bantaran Sungai Cikapundung pada 17 September dan 23 September 2023. Sebelum melakukan penanaman bambu, The Greenbelt Project bersama para sukarelawan melakukan river clean up atau pembersihan sungai terlebih dahulu.
Aca dan teman-teman sukarelawan mengikuti kegiatan ini dengan antusias tinggi. Momen tak terlupakan bagi Aca adalah saat para sukarelawan datang dengan inisiatif tinggi, sepenuhnya tahu apa yang harus mereka lakukan.
”Mereka daftar dan datang dengan niat dari diri sendiri. Mereka pun aktif selama event berlangsung. Ini bikin aku punya sense of hope ke anak-anak muda,” tutur Aca saat mengingat kembali momen itu.
Tantangan dan harapan
Meski program berjalan dengan sukses, ternyata Aca menemukan tantangan saat program ini telah usai. Menurut dia, tantangan terbesar bagi The Greenbelt Project adalah tahapan pemeliharaan, monitoring, dan keberlanjutan program.
Sebab, perlahan-lahan para sukarelawan menemukan kendala untuk meninjau tempat penanaman bambu. Faktor jarak dan waktu yang tidak pas dari para sukarelawan juga turut ambil andil.
”Dengan mengajak orang dari berbagai daerah itu nggak menjamin mereka bisa kembali secara rutin untuk maintain bambu yang sudah ditanam,” tutur Aca.
Namun, ia menyadari hal ini memang lumrah terjadi. Dengan begitu, hal ini menjadi sebuah evaluasi bagi dirinya dan teman-teman pada program selanjutnya. Lagipula, para relawan tetap bisa meninjau bambu yang mereka tanam melalui Instagram The Greenbelt Project.
Proses monitoring juga masih berlangsung. Menurut Aca, saat ini masih terlalu dini untuk melihat dampak jangka panjangnya. Meski begitu, perubahan sekecil apa pun merupakan progres yang berharga.
Tak berhenti di situ, Aca masih ingin merencanakan program baru dari The Greenbelt Project, seperti Program Belajar dari Desa yang masih dalam tahap riset dan survei ke desa adat yang dituju.
Selain itu, Aca juga sedang berfokus agar teman-teman tim dan sukarelawan lainnya bisa belajar memimpin program. Hal ini diupayakan agar The Greenbelt Project bisa berkembang dan tak berhenti di masa kepengurusan Aca.
”Aku mau teman-teman belajar lead program karena aku nggak selalu ada di sana. Jadi, misal mau ada acara penanaman lagi, aku cukup memfasilitasi dan monitoring dari jauh,” ungkap Aca, yang berdomisili asli di Bali.
Menurut Aca, kesempatan untuk mengajak anak muda aktif berkomunitas adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Apalagi, jika untuk tujuan yang positif. Sebab, kegiatan sukarela merupakan salah satu kegiatan yang bisa meningkatkan kesadaran akan masalah sosial di sekitar kita.
”Sesuai dengan tagline The Greenbelt Project be the solution. Sebagai generasi muda, kita harusnya jadi solusi untuk masa depan yang lebih baik,” pungkasnya. Semangat!
Ni Made Tasyarani
Aktivitas: Inisiator The Greenbelt Project
Pendidikan: Fresh Graduate Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
-Hasil kolaborasi dengan peserta program magang harian Kompas: Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran